RADAR JOGJA – Ketua KPU Bantul Didik Joko Nugroho mengaku siap bekerjasama dengan kepolisian dalam pemetaan rawan konflik selama penyelenggaran Pilkada 2020. Diawali dengan profiling calon bupati dan calon wakil bupati.
Langkah ini untuk mengetahui peta dukungan masing-masing kontestan politik. Antisipasi ini diyakini mampu meredam dan meminimalisir munculnya konflik. Tentunya mengutamakan pendekatan preemtif dan preventif.
“Kami sangat menyambut positif untuk antisipasi munculnya konflik. Langkah-langkah antisipatif sangatlah penting. Ini semua merupakan bagian dari komitmen mewujudkan Pilkada Bantul yang aman dan kondusif,” jelasnya, ditemui di Mapolres Bantul, Rabu (12/2).
Didik memastikan seluruh tahapan Pilkada berlangsung terbuka. Mulai dari pembentukan panitia pemungutan suara (PPS) tingkat desa, panitia pemilihan kecamatan (PPK), pendaftaran cabup cawabup hingga pengumuman penghitungan suara Pilkada.
Mekanisme yang digunakan tak ubahnya pelaksanaan Pemilu 2019. Hanya saja ada beberapa catatan evaluasi. Terutama untuk validasi jumlah daftar pemilih tetap. Langkah ini untuk menghindari adanya suara ganda hingga tak terdaftar dalam Pilkada.
“Dari pelaksanaan pemilu kemarin sudah bisa dilihat. Bisa menjadi acuan, agar pelaksanaan Pilkada kali ini bisa berlangsung dengan professional dan penuh integritas,” ujarnya.
Untuk saat ini jajarannya tengah fokus pada PPS dan PPK. KPU Bantul, lanjutnya, membutuhkan setidaknya 225 personel PPS. Detailnya tiga petugas yang bertugas di masing-masing desa. Tercatat Kabupaten Bantul memiliki 75 desa wilayah administrasi.
Tahapan PPK tetap mengusung tanggapan masyarakat. Sebanyak 10 besar calon PPK akan menjalani uji publik. Berupa tanggapan dan masukan dari masyarakat. Jenjang waktu tahapan ini berlangsung selama tiga hari.
“Calon PPK kami umumkan hari Sabtu (15/2). Lalu tiga hari kedepan minta tanggapan dari masyarakat. Jika tak ada tanggapan dan masukan akan ditetapkan,” katanya.
Terkait batas usia ada kelonggaran. Didik menuturkan batas minimal usia panitia penyelenggara pemilu menjadi 17 tahun. Pertimbangannya adalah memberikan ruang kepada generasi muda. Tidak hanya pasif namun aktif dalam kegiatan berpolitik.
“Utamakan genearsi muda batas umur 17 tahun, sebelumnya 25 tahun. Acuannya di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Regenerasi agar yang terlibat tak hanya itu-itu saja,” ujarnya. (dwi/tif)