RADAR JOGJA – Tidak mengalirnya air Selokan Mataram sampai di wilayah Sleman Timur karena adanya sabotase, berakibat pada hasil panen padi yang terus turun. Ini terjadi karena petani hanya bisa menanam selama satu kali dalam setahun.

Ketua Forum Petani Kalasan Janu Riyanto menjelaskan, jika debit air lancar petani tidak hanya bisa melakukan penanaman hanya sekali dalam setahun. Mereka seharusnya bisa melakukan penanaman dua sampai dengan tiga kali masa tanam.

Menurut Janu, petani yang ada di Tamanmartani dan sekitarnya selalu menggantungkan air lahan pertanian mereka dari Selokan Mataram. Namun, sejak Selokan Mataram gagal mengalir, petani hanya mengandalkan pompa dengan biaya yang tidak murah. “Pompa dengan biaya Rp 150.000. Setidaknya membutuhkan enam kali pompa untuk mengaliri lahan satu kali masa tanam,” jelas Janu, Jumat (14/2).

Menurut Janu, ada sekitar 241 hektare lahan pertanian yang terdampak di wilayah Selokan Mataram karena pasokan air yang berhenti. Janu menyebutkan, petani di wilayah Kalasan sering mengalami gagal panen pada lahan 1.000 meter persegi hanya mampu menghasilkan 15 kilogram beras. Gagalnya panen hanya membuat tanaman padi digunakan untuk pakan ternak.

Namun, setelah adanya pengelasan di pintu flushing grojogan daerah Maguwoharjo pada (3/1), saat ini petani sudah bisa mengolah lahan pertanian. Janu berharap, pegamatan lapangan selalu dilakukan oleh pihak terkait. Ini agar aliran air Selokan Mataram bisa sampai ke hilir. “Penutupan pipa pralon di Sombomerten juga dilajutkan dan hasilnya petani saat ini bisa menikmati air Selokan Mataram,” tambah Janu.

Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan (DP3) Sleman Heru Saptono membenarkan adanya penurunan produksi padi di wilayah Berbah, Kalasan, dan Prambanan dalam empat tahun terakhir. Di wilayah Berbah, tercatat pada 2016, produksi mencapai 19,05 ton. Di tahun berikutnya merosot drastis menjadi 17,08 ton. “Produksi kembali turun di 2018 dan 2019, masing-masing sebanyak 14,08 ton dan 13,86 ton,” ungkap Heru.

Sedangkan di Kecamatan Kalasan, produksi padi sepanjang 2016 sampai 2019 juga mengalami penurunan. Dengan jumlah setiap tahunnya mulai dari 22,11 ton, 19,53 ton, 17,03 ton, dan 16,76 ton. Sama halnya di Kecamatan Prambanan, produksi yang mulanya sebanyak 19,03 ton pada 2016, turun menjadi 17,56 ton di 2017. Dua tahun berikutnya, merosot kembali ke angka 16,56 ton dan 14,3 ton.

Menurut Heru, penurunan produksi padi di wilayah Sleman Timur diakibatkan oleh persoalan air dari Selokan Mataram yang tidak mengalir sampai lahan pertanian. Selain permasalahan tersebut, faktor musim juga memberikan pengaruh pada hasil produksi. “Melihat kondisi cuaca yang tidak menentu,” ungkap Heru. (eno/din)