KASUS kekerasan berbasis gender masih sering terjadi baik di ranah publik maupun ranah domestik. Di era teknologi yang berkembang pesat saat ini, kekerasan berbasis gender lahir dengan wajah baru. Media online kemudian menjadi salah satu alat untuk melakukan kekerasan berbasis gender. Kasus kekerasan berbasis gender merupakan kekerasan yang dilakukan berdasarkan peran gender atau seksual.

Kekerasan berbasis gender yang dilakukan melalui media online dikenal dengan istilah Kekerasan berbasis Gender Online (KBGO). Seperti kasus kekerasan berbasis gender pada umumnya, sebagian besar korban KBGO adalah perempuan. Tindak kekerasan dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender jika memiliki niatan melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Pada tahun 2017, data  Komnas Perempuan menunjukkan terdapat 65 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di media online. Tentunya angka ini belum mewakili keseluruhan kejadian, dikarenakan banyak korban yang tidak berani melaporkan. Salah satu contoh kasus KBGO yaitu kasus Kennedy Jenifer yang data pribadinya digunakan untuk menawarkan jasa prostitusi oleh oknum tak bertanggung jawab.

Di Indonesia, KBGO belum memiliki peraturan khusus untuk menjerat pelaku kekerasan. Pada saat ini, kasus KBGO biasanya menggunakan UU ITE tentang Kesusilaan, namun UU ini belum secara komperenshif mampu untuk menampung segala bentuk KBGO. Seringkali, pelaku tidak dapat dijerat hukum dikarenakan kekurangan bukti atau bahkan dipersulit prosesnya. Oleh karena itu, diperlukan UU secara khusus yang mengatur mengenai Kekerasan, dalam hal ini yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sampai hari ini belum juga disahkan.

Adapun wajah baru dari KBGO menurut SAFEnet antara lain pelanggaran privasi seperti doxing atau upaya menggali dan menyebarkan informasi pribadi seseorang dengan tujuan jahat, pengawasan dan pemantauan berupa melacak dan mengawasi kegiatan orang lain, perusakan reputasi berupa memanipulasi dan membuat konten palsu terkait seseorang, online harassment yang dapat disertai pelecehan offline, ancaman kekerasan langsung berupa perdagangan perempuan atau pemerasan seksual, dan beberapa contoh kekerasan lainnya. Hal-hal seperti ini tentunya sangat berdampak pada korban dan sebagian besar pelaku KBGO adalah pasangan atau teman dekat dari korban.

Berdasarkan panduan KBGO yang disusun oleh SAFEnet, diketahui bahwa terdapat beberapa dampak dari kekerasan berbasis gender online diantaranya yaitu kerugian psikologis yaitu korban/penyintas mengalami depresi, kecemasan, dan ketakutan. Kerugian ekonomi, yaitu korban/penyintas dapat menjadi pengangguran dan kehilangan penghasilan akibat dari kekerasan tersebut. Ketiga yaitu keterasingan sosial yaitu para korban / penyintas menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dengan keluarga dan teman-teman.  Pada beberapa kasus, korban KBGO juga merasa “malu” dikarenakan foto atau video pribadinya tersebar di dunia maya.

Melihat dampak tersebut, perlu dilakukan upaya untuk terhindar dari kekerasan gender berbasis online, diantaranya yaitu menjaga privasi di media sosial dengan tidak menyertakan informasi pribadi, mengganti password secara berkala, menjaga privasi akun media sosial dan beberapa hal lainnya. Kemudian, jika orang disekitar kita mengalami KBGO, hal yang dapat kita lakukan adalah mendengarkan cerita korban dan memberikan dukungan, menanyakan mengenai kebutuhan korban saat itu serta membantu korban untuk mendapatkan informasi atau layanan untuk proses pemulihan pasca kejadian.

Kasus kekerasan berbasis gender online memiliki konsep yang sama dengan kasus kekerasan gender pada umumnya yaitu berusaha untuk menguasai korban dan merendahkan/melecehkan korban berdasarkan peran gender atau seksualitas. Kasus kekerasan berbasis gender yang semakin beragam bentuknya mengingatkan kita bahwa permasalahan mengenai kekerasan berbasis gender merupakan permasalahan kemanusiaan yang harus diatasi dengan serius. Idealnya, kita sebagai seorang manusia melihat orang lain sebagai manusia juga dan mampu untuk “memanusiakan manusia”, jika kita memahami akan hal ini maka seharusnya kita tidak akan melakukan perbuatan yang merendahkan harga diri dan martabat sebagai sesama manusia. (*)

*Penulis merupakan mahasiswa Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta