Tragedi susur sungai para siswa SMP 1 Turi, Sleman membuat ratusan relawan tergerak membantu. Dengan kemampuannya masing-masing. Termasuk Wiwin Effendy, yang mengoperasikan kapal scanning sonar untuk mencari korban tenggelam. Seperti apa perannya?
SITI FATIMAH, Bantul, Radar Jogja
RADAR JOGJA – Bengkel yang berlokasi di Kanggotan, Pleret, Bantul penuh dengan tumpukan besi. Di sanalah Wiwin beraktivitas bersama-sama di Bengkel Drone Jogja. Setelah bertugas di unit Pusat Pengendalian dan Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) Badan Penanggulangan Bencana Alam (BPBD) Bantul.
Di bengkel itu pula dia merakit kapal mini yang disebutnya scanning sonar. Yang awalnya hanya mereka gunakan sebagai alat pemetaan lokasi tambang. Kapal dengan panjang sekitar satu meter itu berfungsi sebagai scanner (pemindai) objek di ke dalaman air sampai radius 15 meter.
Kapal itu pun dapat memetakan dasar sungai. Melalui sensor sonar yang diletakkan di bagian bawah kapal, ia melakukan pemindaian. Sensor tersebut dapat memantul kembali dan akan membuat pola grafik pada monitor. “Jadi hasil dari scanning, titik objek yang mencurigakan akan tampak. Karena mengambang di dasar sungai,” jelasnya kepada Radar Jogja Senin (25/2).
Kemampuan kapal mininya tersebut, yang membuat BPBD Bantul langsung memintanya berangkat membantu proses evakuasi di Sungai Sempor, Turi, Sleman. Pria yang akrab disapa Pithi, langsung dihubungi oleh atasannya untuk membantu pencarian korban. Pithi pun berangkat dengan membawa sebuah kapal mini.
Terbacanya objek akan memudahkan pencarian. Karena sudah terpindai, penyelam dapat langsung menuju titik objek yang dianggap mencurigakan. “Intinya, kapal selam ini memberikan data awal bagi penyelam. Mengurangi kelelahan tim susur. Paling tidak kami meminimalisasi penggunaan tabung selam. Semisal stoknya terbatas. Jadi lebih efisien,” jelas pria asal Bintaran, Jambidan, Banguntapan, Bantul itu.
Ayah dua puteri itu mengatakan, tim workshop Bengkel Drone Jogja melakukan pemindaian di empat titik pencarian korban. “Kita laporan ke posko induk. Kami sampaikan kapasitas kami sama teman-teman. Kemudian kami scanning,” tuturnya yang mengaku kapal scanning sonar hanyalah uji coba dari hobby.
Kata Pithi, kapal scanning sonar sudah enam kali digunakan dalam operasi laka air. Hanya saja, kapal tersebut memiliki kekurangan. Fisiknya yang mungil membuatnya tidak dapat bertahan di arus yang berombak. Sehinngga, kapal ini terbatas penggunaannya.
“Untuk di laut, kapal ini belum bisa. Hanya bisa di sungai dan danau. Kecuali laut yang agak tenang. Kalau pantai selatan, ombaknya terlalu kencang. Dengan body yang sekecil ini kurang mampu,” kata suami seorang perawat itu.
Ke depannya, Pithi bersama tim akan melakukan pemasangan kamera di kapal scanning sonar. Tapi pria yang pernah bekerja di bank tersebut mengaku kesulitan. Karena harga kamera yang dibutuhkan mahal. “Kami mau pasang kamera. Cuma karena harganya lumayan, kami masih pikir-pikir,” ujarnya lantas tertawa.
Ketika disingung modal pembuatan kapal scanning sonar, dengan malu Pithi menjawab telah menghabiskan dana Rp 300 juta. Itu, tidak mendapat bantuan dari pihak mana pun. “Kalau kami jangan sampai merepotkan orang lain. Kami menyisihkan kalau ada job,” jelasnya yang juga kerap menggunkan barang bekas dari pelanggan yang service di bengkelnya. (pra)