RADAR JOGJA – Sebanyak 2,78 persen gangguan penglihatan di dunia disebabkan oleh glaukoma. Dalam satu dekade terakhir, prevalensi glaukoma meningkat cepat seiring pertumbuhan populasi penduduk dan pertambahan usia. Berdasarkan data International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB) pada 2010 jumlah penderita glaukoma mencapai 60,6 juta individu. Diperkirakan pada 2020 secara global kasus glaukoma mencapai angka 76 juta dan dapat meningkat menjadi 111,8 juta pada 2040.

Asia Tenggara menduduki posisi ketiga sebagai jumlah penderita glaukoma terbanyak berdasarkan regional benua tahun 2015 mencapai 552.556 individu. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan Riskesdas tahun 2017,  jumlah kasus baru glaukoma pada pasien rawat jalan rumah sakit di Indonesia adalah 80.548 kasus. Besarnya angka kejadian penyakit Glaukoma menjadi dasar pentingnya dilakukan deteksi dini.

Hal tersebut disampaikan Direktur Utama Rumah Sakit Mata Dr Yap dr Eny Tjahjani Permatasari dalam konferensi pers Word Glaucoma Week (WGW) 2020, Selasa (3/3). “Dalam kasus kebutaan, glaukoma menjadi penyebab kedua terbesar setelah katarak,” kata dia.

Dokter Eny menejlaskan, ada banyak pertanda seseorang terkena glaukoma. Apabila gejala-gejala awal diabaikan atau tidak segera diobati, maka bisa kehilangan lapang pandang. Misalnya saat berjalan kaki sering menabrak sekitarnya. “Pasien tetap bisa melihat tetapi lapang pandangnya sempit. Hilang pelan-pelan. Mlaku nabrak-nabrak,” ujarnya.

Glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi glaukoma primer dan sekunder. Pada umumnya tidak memiliki gejala yang jelas. Jika tidak segera ditangani, glaukoma menyebabkan penurunan penglihatan irreversible menuju kebutaan. Glaukoma bisa menyerang siapa saja pada segala umur. Dia mengimbau saat menemui gejala awal, penderita glaukoma harus rutin pengobatan dan kontrol ke rumah sakit.

“Persoalannya, sering terjadi pasien bosan dan melupakan pengobatan. Mereka baru bingung saat mengalami kehilangan lapang pandang,” keluhnya.

Direktur Pelayanan dan Pendidikan RS Mata Dr YAP dr Erin Arsianti menambahkan, sebagian besar pasien yang datang sudah dalam keadaan lanjut. Hal ini terjadi karena pasien tidak merasa dirinya terkena glaukoma.

“Pasien datang ke sini sudah mengeluh penglihatannya kabur,” ujarnya.

Dia menyayangkan pengobatan pasien glaukoma tingkat lanjut hanya untuk mempertahankan penghilatan supaya tidak memburuk. Oleh karena itu deteksi dini sangat penting dilakukan.

“Pasien masih mengasumsikan katarak, begitu datang kaget ternyata glaukoma. Saatnya kita harus peduli, glaukoma semakin dini terdeteksi maka risikonya semakin kecil,” ujarnya.

Dokter Anggun berharap masyarakat lebih peduli dengan cara melakukan deteksi dini. “Hasil skrining glaukoma akan kami dampingi. Harapannya melalui acara Word Glaucoma Week lebih banyak lagi yang care,” tandasnya.

World Glaucoma Week atau Pekan Glaukoma Sedunia merupakan sebuah aksi kampanye kesehatan yang diselenggarakan selama sepekan setiap tahunnya oleh negara-negara di seluruh dunia. Tujuannya untuk meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan masyarakat maupun stakeholder tentang pentingnya upaya preventif, kuratif hingga rehabilitatif penyakit glaukoma.

Acara puncak World Glaucoma Week (WGW) 2020 sendiri diselenggarakan Minggu (8/3) mendatang di Rumah Sakit Mata Dr YAP. “Sasaran kegiatan ini adalah Kader Kesehatan, Paguyuban Glaukoma jogja dan masyarakat umum di sekitar rumah sakit,” jelas dr Ganjar Sulaksmono selaku ketua panitia.

Mengusung tema ‘Green go get your eyes tested for glaucoma’, puncak acara WGW 2020 diisi kegiatan Fun Walk. Dilanjutkan Deklarasi Prevent Glaucoma, Save Your Sight, Talk Show tentang Glaukoma dan Sosialisasi Bank Mata Jogjha serta pemeriksaan mata gratis dengan dokter spesialis mata. (sky/tif)