RADAR JOGJA – Rintik hujan pukul tiga sore tak membubarkan peserta aksi Gejayan Memanggil, Senin (9/3). Ribuan peserta aksi yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak tetap memilih bertahan di simpang tiga Jalan Affandi. Mereka tetap fokus menyuarakan penolakan terhadap RUU Omnibus Law.

Aliansi Rakyat Bergerak terdiri dari beberapa elemen masyarakat. Mulai dari Aliansi Mahasiswa UGM, Aliansi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Aliansi Mahasiswa UNY, hingga aliansi buruh. Seluruhnya kompak dalam menyampaikan aspirasi.

“Banyak esensi RUU Omnibus Law atau Cipta Kerja yang berpotensi menitik beratkan kepentingan investor sekaligus meminggirkan kepentingan rakyat, utamanya buruh,” jelas salah satu koordinator aksi, Feri, ditemui di Simpangtiga Jalan Affandi, Senin (9/3).

Suasana pembacaan tuntutan aksi Gejayan Memanggil menolak Omnibus Law, Senin (9/3). (DWI AGUS/Radar Jogja)

Aksi ini menyoroti salah satu pasal dalam RUU tersebut. Yakni Pasal 88 B RUU Cipta Kerja tentang Standar Pengupahan yang Berdasarkan Waktu. Aturan ini menurutnya justru menekan angka kesejahteraan para buruh.
Penentuan upah dalam satuan waktu menurutnya berdampak signifikan. Di satu sisi juga berdapak pada stamina dan kondisi kesehatan para buruh. Karena buruh harus memenuhi waktu kerja maksimal untuk upah optimal.

“Bagaimana jika buruh cuma mendapat 4-5 jam perhari. Tentu berdampak pada upah yang didapat. Lalu jangka panjang juga menekan daya beli masyarakat yang mayoritas profesinya buruh,” ujarnya.

Feri turut menyoroti draft revisi pasal 150-152. Pasal ini mengatur soal pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam aturan baru tersebut justru menyengsarakan para buruh. Poinnya adalah tidak ada keterlibatan serikat buruh. Termasuk dalam penentuan kesejahteraan dan juga PHK para buruh. Alhasil penghentian kinerja buruh terkesan tak adil dan tak objektif. Pengusaha, lanjutnya, bisa mem-PHK buruh secara sepihak.

“Kalau dulu ada mekanisme PHK, PWKTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Serikat buruh sama sekali tidak dilibatkan. Padahal yang membela hak-hak buruh adalah serikat-serikat buruh. Faktanya dalam UU Cipta Kerja ini (keterlibatan) serikat buruh dihilangkan,” tegasnya.

Permasalahan masih muncul dalam Pasal 78 nomor 1 poin b. Penjabarannya, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu. Sementara dalam UU Nomor 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan penjabaran jatah lembur lebih rendah.

Kebijakan ini menurutnya justru bertolak belakang dengan negara-negara maju. Mereka justru memangkas jam kerja demi peningkatan produktivitas. Feri menilai kebijakan Indonesia justru mundur dan terbelakang.

“Malah mundur, kami tidak anti investasi, tapi kami mengira UU Cipta Kerja ini hanya kepentingan investasi-investasi kotor dari beberapa negara yang mau berinvestasi kotor. Mengeruk sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia,” katanya.

Feri juga menyoroti akan mudahnya izin tenaga kerja asing (TKA). Diperkuat dengan dihilangkannya syarat keahlian untuk TKA. Dalam kata lain, keberadaan RUU Cipta Kerja bisa menutup peluang pekerja lokal. Polemik ini akan terasa di semua sektor.

“Hampir di segala sektor tidak dibatasi. Kalau dulu ada peraturan menteri yang membatasi. Bisa bersaing dengan tenaga-tenaga asing yang belum tentu produktif, yang belum tentu punya keahlian,” ujarnya. (dwi/tif)