UNTUK bebas tidak hanya membuang satu rantai. Tetapi untuk hidup dalam rasa saling menghargai dan memperbesar kebebasan orang lain. To be free is not merely to cast off one’s chains, but to live in a way that respects and enhances the freedom of others. -Nelson Mandela (1918-2913)0

Mungkin kata-kata tersebut dapat mewakili keadaan masyarakat Indonesia saat ini, yang tengah terpuruk akibat merebaknya musibah wabah mematikan yang bernama Corona/Covid-19.

Dalam beberapa pekan ini tema tentang corona covid-19 menjadi begitu booming dibicarakan khalayak ramai baik lokal maupun dunia, pasalnya wabah mematikan ini telah banyak memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya. data terkini yang dilakukan Kementerian Kesehatan menyebutkan angka manusia yang terjangkit wabah virus ini mencapai 142.539 kasus, 81.021 dilaporkan dari China meliputi 34 wilayah termasuk Hong Kong, Macau SAR, dan Taipei, bahkan 83,7 kasus terindikasi berasal dari China Provinsi Hubei.

Dengan angka kematian mencapai 5.393 kasus berasal dari China. wabah virus ini telah menyebar ke seluruh dunia bahkan angka sementara menyatakan bahwa terdapat 135 negara di luar cina terjangkit virus ini, dengan angka kematian mencapai 2.199 dari 33 negara.

Sedangkan situasi saat ini di negara kita tidak begitu jauh dengan negara lain yang terinfeksi virus ini bahkan menduduki peringkat pertama dengan angka kematian terbesar di dunia akibat penyakit ini dengan angka 19/227=8,370%, semenjak pertengahan Desember hingga 15 Maret 2020 pukul 14:00 WIB, terdapat 1.293 orang yang cek kesehatan dari 28 Provinsi, hasilnya menyatakan bahwa 1.167 orang dinyatakan negatif (188 orang ABK crew kapal World Dream dan 68 orang dari ABK Diamond Princess).

Dengan melihat kenyataan data di atas setidaknya kita dapat lebih mawas diri, melindungi keluarga, kerabat kita dan membekali diri dengan alat-alat yang mampu menangkal wabah mematikan ini. namun apakah hal ini efektif untuk semua orang? nyatanya tidak sedikit masyarakat kita yang tidak mampu membeli peralatan medis yang harganya mulai mahal tersebut, seperti masker, handitaizer dll.

Hal ini tentu menjadi problem serius melihat kebijakan pemerintah yang memutus kegiatan yang melibatkan banyak orang, namun lalai menyiapkan segala kebutuhan pokok, alat-alat medis terjangkau dan mudah di dapat oleh semua kalangan masyarakat. Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang menentang bahkan menganggap bahwa kebijakan ini hanya diperuntukan untuk kalangan orang elite semata dan tidak mementingkan mereka para pekerja buruh, petani, nelayan hingga gelandangan yang harus bekerja dilapangan hanya untuk menyambung kehidupannya.

Dengan adanya penyakit ini seharusnya menjadi ajang untuk lebih mempererat persatuan, persamaan dan sebagai batu loncat kedewasaan menyikapi segala musibah yang datang bukan sebagai hal yang harus ditakuti bahkan dijadikan sebagai legitimasi kekayaan, akan tetapi lebih pada peran individu masing-masing agar selalu berpikir positif menyikapi problema kehidupan ini dan mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. (ila)

*Penulis merupakan peneliti Bidang Kemanusiaan Daerah Istimewa Jogjakarta