Oleh: Jimmy Jeniarto
Apakah Anda pernah menonton film berjudul “300”? Film tahun 2006 yang disutradarai oleh Zack Snyder tersebut merupakan film fiksi dari peristiwa kisah nyata “Pertempuran Thermofilae” (Makhe ton Thermopulon). Pada Pertempuran Thermofilae, prajurit-prajurit Yunani yang dipimpin oleh Leonides melakukan petempuran penghabisan untuk menghadang laju serdadu-serdadu Persia di bawah pimpinan Xerxes I, raja Persia saat itu. Leonides memimpin sejumlah [relatif] kecil prajurit-prajurit Yunani untuk menghadang ribuan serdadu-serdadu Persia. Sebuah pertempuran yang sangat tidak seimbang dengan hasil akhir kemenangan Persia. Leonides sendiri tewas dalam pertempuran tersebut.
Pertempuran Thermofilae yang terjadi pada tahun 480 Sebelum Masehi (SM) merupakan bagian dari Perang Yunani-Persia (Greco-Persian Wars), sebuah perang panjang yang dilatarbelakangi oleh proses ekspansi imperium Persia (sekarang Iran). Pada saat itu, Persia merupakan imperium raksasa yang terus berusaha meluaskan daerah kekuasaannya. Peristiwa Pertempuran Thermofilae dianggap sebagai salah satu contoh sikap dan tindakan patriotrik yang diperlihatkan oleh prajurit-prajurit Yunani dalam mempertahankan kehormatan dan kedaulatan tanah air mereka.
Pada tahun 1357 Masehi, sebuah peristiwa memilukan menimpa rombongan keluarga kerajaan Sunda di lapangan Bubat, utara Trowulan, Ibukota Majapahit. Pada peristiwa tersebut, terjadi pertempuran antara rombongan kerajaan Sunda, yang dipimpin langsung oleh Prabu Lingga Buana, melawan serdadu-serdadu Majapahit di bawah Mahapatih Gajah Mada, yang kemudian terkenal dengan sebutan “Pertempuran Bubat”.
Peristiwa Bubat diawali ketika raja Majapahit, Hayam Wuruk berniat memperistri (sebagai permaisuri) Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Prabu Linga Buana, raja kerajaan Sunda. Raja Lingga Buana menyetujuinya. Raja Sunda beserta keluarga kerajaan, para pejabat, pelayan, dan sedikit prajurit-kawal, mengantar Dyah Pitaloka ke Ibukota Majapahit untuk acara prosesi pernikahan.
Namun, ketika rombongan keluarga kerajaan Sunda sedang berada di lapangan Bubat (sebelah utara Trowulan) untuk menunggu acara proses pernikahan, mereka mendapat kabar bahwa pihak Majapahit menginginkan agar raja Sunda menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai tanda tunduknya kerajaan Sunda pada Majapahit. Selain itu, Dyah Pitaloka hanya akan dijadikan selir Hayam Wuruk, bukan permaisuri.
Gajah Mada, beserta jendral-jendral Majapahit, telah menempatkan ribuan serdadu-serdadu Majapahit di Ibukota dan beberapa titik yang tidak jauh dari lapangan Bubat. Sementara itu, pihak rombongan keluarga kerajaan Sunda tidak memiliki persiapan perang, karena mereka datang ke Ibukota Majapahit memang tidak dengan tujuan perang, sehingga hanya membawa sedikit prajurit-kawal. Beberapa kalangan menyebut jumlah total rombongan kerajaan Sunda kurang dari seratus orang saja.
Raja Lingga Buana menolak permintaan Majapahit: menolak menyatakan kerajaan Sunda tunduk pada Majapahit dan menolak menyerahkan Dyah Pitaloka. Lebih memilih melawan sampai titik darah penghabisan. Maka, pecahlah Pertempuran Bubat. Sebuah pertempuran yang sangat tidak seimbang. Seluruh laki-laki dalam rombongan kerajaan Sunda melakukan perlawanan penghabisan, dan hampir seluruhnya pula tewas dalam pertempuran tersebut. Termasuk Raja Lingga Buana. Sementara itu, seluruh wanita dalam rombongan kerajaan Sunda melakukan bunuh diri masal di lapangan Bubat, termasuk Dyah Pitaloka. Para wanita tersebut memilih mati daripada menyerahkan diri pada Majapahit.
Pada tahun 1359 M, atau dua tahun setelah Pertempuran Bubat, kakawin (syair) Nagara Krtagama mulai ditulis. Judul asli dari kakawin Nagara Krtagama adalah kakawin Desa Warnnana. Kakawin Nagara Krtagama selesai ditulis pada tahun 1365, atau satu tahun setelah Gajah Mada meninggal (1364). Kakawin Nagara Krtagama merupakan eulogia (pujian) untuk Hayam Wuruk. Tradisi sejarah mencatat bahwa jaman keemasan imperium Majapahit adalah pada era pemerintahan Hayam Wuruk.
Nama Mpu Prapanca, yang dikenal sebagai penulis kakawin tersebut, merupakan nama pena atau samaran. Penulis Nagara Krtagama diduga mantan pejabat Majapahit yang telah pensiun. Ia kemudian menyepi ke daerah pedusunan yang jauh dari Ibukota, daerah pegunungan, dan menyelesaikan tulisan Nagara Krtagagama di pengasingannya tersebut. Pada bagian-bagian akhir Nagara Krtagama, penulis kakawin tersebut mengungkapkan rasa rendah diri atas karyanya, merasa bukan seorang pujangga besar istana, dan selalu dipandang rendah oleh para bangsawan.
Meski mulai ditulis dua tahun setelah Pertempuran Bubat, namun Nagara Krtagama tidak menyinggung peristiwa memilukan tersebut. Pada Wirama 86 dan 87, Nagara Krtagama memang menyebut lapangan Bubat. Namun, penyebutan tersebut hanya dalam konteks menggambarkan kemeriahan dan kemakmuran di sekitar lapangan Bubat, terutama ketika sang raja (Hayam Wuruk) memberi aneka tontonan di lapangan tersebut.
Kisah tentang peristiwa Bubat disinggung dalam tulisan-tulisan yang ditulis setelah bertahun-tahun peristiwa tersebut terjadi, terutama dalam Pararaton, Kidung Sunda, dan Carita Parahyangan. Pararaton tidak diketahui siapa penulisnya, dan bahkan kerap dianggap lebih banyak aspek fiksi-nya daripada cerita fakta. Kidung Sunda merupakan syair berbahasa Jawa-Pertengahan yang ditemukan di Bali. Isi Kidung Sunda itu sendiri lebih berpihak atau bersimpati pada kerajaan Sunda.
Pertempuran Bubat terjadi di dalam suasana proses ekspansi negara Majapahit. Pada saat itu, Majapahit merupakan imperium raksasa di kawasan Asia Tenggara, yang terus berusaha meluaskan daerah kekuasannya. Namun, peristiwa Bubat mungkin dianggap sebagai sebuah aib bagi nama besar Hayam Wuruk dan Majapahit, sehingga penulis Nagara Krtagama tidak menyinggung peristiwa tersebut. Sedangkan bagi keluarga kerajaan Sunda, Pertempuran Bubat dianggap sebagai perwujudan sikap dan tindakan patriotik serta ksatria, mempertahankan kedaulatan negara dan kehormatan putri raja.
Peristiwa Bubat merupakan peristiwa politik, tidak semata peristiwa asmara antara Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka. Keluarga kerajaan Majapahit maupun Sunda sebenarnya sama-sama memiliki motivasi politik dalam kaitannya soal pernikahan Diyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk. Bagi Majapahit, dengan masuknya Diyah Pitaloka ke dalam kraton Majapahit (sebagai permaisuri maupun selir), maka Majapahit akan lebih mudah mengontrol kerajaan Sunda. Sedangkan bagi keluarga kerajaan Sunda, dengan masuknya Dyah Pitaloka ke kraton Majapahit sebagai permaisuri, maka akan terbentuk suatu aliansi yang lebih kuat antara kerajaan Sunda dengan imperium Majapahit. Namun, pecahnya Pertempuran Bubat membuyarkan gagasan itu semua.
Pertempuran Bubat, sebagaimana Pertempuran Thermofilae, dilatarbelakangi oleh suasana politik ekspansionis, dan merupakan pertempuran yang sangat tidak seimbang. Namun, pihak rombongan kerajaan Sunda dan prajurit-prajurit Yunani menempuh jalan pertempuran penghabisan, sebagaimana gambaran Herodotos (± 484-425 SM) tentang Pertempuran Thermofilae:
“Di sini mereka melawan hingga penghabisan, bagi mereka yang masih memiliki pedang, mereka menggunakan pedang, dan bagi yang tidak memiliki pedang, mereka melawan dengan tangan dan gigi,”. (VII, 225)
*) Penulis Lepas
PUSTAKA:
Herodotus. 2003. The Histories. London: Penguin Books. (Translated by Aubrey de Selincourt. Revised with introduction and notes by John Marincola)
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas.