JOGJA – Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) terus mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia memaksimalkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Dengan sistem ini bukan saja kinerja pemerintahan yang akan terdongkrak performanya. Negara pun bisa menghemat anggaran hingga lebih dari Rp 41 triliun.

Salah satu indikator keberhasilan penerapan c adalah keterserapan anggaran daerah sesuai dengan hasil kinerja.

Menteri PAN RB Asman Abnur mengatakan, dengan diterapkannya SAKIP tidak ada lagi anggaran yang akan habis sia-sia. Pemerintah daerah harus sudah memulai manajemen berbasis kinerja.”Targetnya 2019 jangan ada lagi pemerintah daerah yang nilai evaluasinya C,” tegas Asman di sela penyerahan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Wilayah III 2017di Hotel Tentrem, Kota Jogja Selasa (13/2).

Evaluasi SAKIP Wilayah III meliputi wilayah kabupaten/kota di wilayah Sulawesi, DIJ, Jawa Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Mengacu hasil evaluasi tahun lalu, lanjut Asman, berdasarkan data yang telah dihitung, masih terdapat potensi pemborosan sebesar minimal 30 persen dari APBN/APBD diluar belanja pegawai setiap tahunnya. Angka tersebut setara dengan nilai kurang lebih 392,87 triliun rupiah. Dengan terbangunnyae-performance based budgetingdi beberapa lembaga, pemda, dan pemrov telah dapat diwujudkan efisiensi anggaran minimal Rp 41,15 triliun. Menurutnya, SAKIP yang selama ini dianggap sebagai kumpulan dokumen semata, ternyata besar pengaruhnya terhadap efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan anggaran negara.

Pemerintah Provinsi DIJ merupakan satu-satunya instansi yang meraih predikat A dalam penerapan SAKIP 2017. Dengan nilai 84,22. Tertinggi dari 12 provinsi lain yang juga menerima hasil evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah oleh Kemenpan-RB kemarin.

Gubernur DIJ Hamengku Buwono (HB) X menilai, capaian akuntabilitas bukan tujuan akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dipimpinnya. Capaian tersebut semata-mata sebagai parameter bahwa kinerja pemerintahan selama ini telah on the track. “Capaian itu dilakukan bertahap dan berkelanjutan. Bukan secara bombastis,” katanya.

Menurut HB X, tiadanya akuntabilitas menjadi tanda kegagalan suatu pemerintahan. Sebab setiap rupiah yang berasal dari pajak dan retribusi yang berasal dari masyarakat, harus dipertanggungjawabkan pemanfaatannya.

“Untuk membangun sistem akuntabiltitas tidak hanya didukung expert belaka. Tetapi harus didorong adanya kemamuan untuk melakukan perubahan,” tutur HB X.

Dalam perwujudannya, Pemprov DIJ telah mengembangkan sistem e-planning, e-budgeting, dan e-monev yang mendorong kebijakan program follow result dan money follow. Serta money follow priority. Sasaran pembangunan harus bisa diturunkan kedalam program prioritas dan penganggaran yang berkorelasi terhadap hasi.

Sejumlah langkah strategis yang dilakukan berupa kegiatan yang tidak langsung mendukung hasil. Contohnya, penghematan terhadap belanja birokrasi, mengurangi jumlah rapat, dan pengurangan perjalanan dinas keluar daerah. “Belanja birokratis diubah ke belanja rakyat,” jelasnya.

Kepala Bappeda DIJ Tavip Agus Riyanto menambahkan, keberhasilan penerapan SAKIP mampu mengefisiensikan anggaran hingga Rp 30 miliar. Dari total ABPD DIJ di 2017 sebesar Rp 5 triliun.

Tavip mencatat, pada 2013 pemprov melaksanakan 3.150 kegiatan dalam APBD. Jumlah kegiatan terus dikurangi secara bertahap, hingga pada 2017 hanya ada 854 kegiatan. “Jumlah sedikit harapannya lebih fokus, pengawasan lebih mudah,” jelasnya.

Program yang terlalu banyak, lanjut Tavip, menyebabkan belanja birokrasi terlalu tinggi. Dengan kegiatan yang terfokus, maka anggaran yang kembali ke pemerintah bisa lebih tinggi. Sehingga bisa dioptimalkan untuk belanja publik. (bhn/yog/mg1)