MEMANDANG peristiwa ini, ada dua tokoh yang sangat diperhitungkan. Pertama, mantan Presiden Soeharto dalam bukunya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya mengklaim bahwa inisiator SO 1 Maret adalah dirinya. Buku yang diterbitkan pada 1988 ini juga mengulas pula detail-detail serangan yang dilakukan.

Kedua, adalah sosok Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. “Akhirnya muncul buku otobiografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX Tahta Milik Rakyat. Buku ini mengulas peran sosok Raja Keraton Jogja dengan dikuatkan oleh kesaksian sejumlah tokoh yang juga berperan sebagai pejuang,” jelas Pakar Sejarah dari UGM Jogjakarta Julianto Ibrahim ditemui kemarin.

Julianto tidak menampik ada sejumlah kontroversi siapa penggagas dan inisiator SO 1 Maret. Namun, berdasarkan investigasi sejarah, sejumlah fakta memang mengarah pada peran HB IX sebagai inisiator. Sementara sosok Letkol Soeharto sebagai pelaksana serangan.

Jauh ke belakang, perpindahan ibu kota Negara dari Jakarta ke Jogjakarta pada 4 Januari 1946 menjadi titik awal. Pertimbangan perpindahan pemerintahan ini karena Jakarta semakin rawan. Ancaman terus datang kepada negarawan dan tokoh saat itu.

Hingga akhirnya terjadi Agresi Militer Belanda pada 19 Desember 1948. Belanda berusaha melumpuhkan segala tonggak Indonesia. Tujuannya agar anggapan Indonesia sebagai negara berdaulat telah sirna.

“Lalu Sultan HB IX pada Februari 1949 mengetahui akan ada agenda sidang Dewan Keamanan PBB. Kebetulan saat itu tengah membahas Indonesia. Beliau ingin ada sebuah gerakan yang membuktikan ekistensi Indonesia masih ada, apalagi reaksi DK PBB cukup keras atas agresi Belanda,” katanya.

HB IX meminta Komandan Sub Wehrkreise Kota Jogja Letkol Marsoedi memanggil Letkol Soeharto. Untuk menuju Njeron Benteng, Soeharto harus ndelik-ndelik melalui Tamansari. Selanjutnya berganti pakaian sebagai seorang abdi dalem. Pertemuan dilakukan di kediaman GBPH Prabuningrat.

“Masuk lewat pojok beteng barat, lalu menuju pintu timur Tamansari. Saat itu pertemuan dilakukan pukul 23.00 hingga 24.00 dalam kondisi lampu mati. Pertemuan dilakukan dua mata, inilah yang menjadi awal mula strategi SO 1 Maret,” jelasnya.

Strategi penyerangan dilakukan secara masif oleh laskar pejuang dan tentara. Waktu serangan juga dilakukan pada pagi hari. Berbeda dengan serangan-serangan gerilya sebelumnya pada malam hari. Terpusat di Benteng Vredeburg serangan dilakukan dari empat arah.

Dalam strategi ini, HB IX meminta seluruh laskar pejuang dan tentara mendekat ke arah kota. Guna mengelabuhi seluruhnya diminta untuk ngantong atau menginap di rumah warga. Digunakan pula kode ucapan yaitu kata kunci Mataram.

“Pakai janur kuning di pundak sebelak kiri, kode Mataram dijawab menang atau unggul. Untuk mengelabuhi mata-mata Belanda. Serangan dilakukan 1 Maret 1949 tepat pergantian pasukan,” ujarnya.

Menariknya dalam serangan ini ada pasukan yang mendahului. Pasukan di bawah pimpinan Mayor Komarudin melakukan serangan pada pagi hari tepatnya 28 Februari 1949. Pada sore harinya laskar dari Giwangan juga turut melakukan serangan.

Kesalahan ini ternyata menjadi keuntungan bagi pejuang. Belanda mengira ini sebagai serangan gabungan. Terlebih saat itu Belanda juga sudah mendapatkan bocoran adanya serangan dari pejuang Indonesia. Alhasil SO 1 Maret berjalan sukses karena serangan dianggap sudah berlalu.

“Kaget karena serangan ini melibatkan lebih dari 2.000 pasukan dari empat sudut. Serangan terhitung berhasil hingga akhirnya bala bantuan Belanda yang dipimpin Kolonel Van Zantn datang dari Belanda. Membawa pasukan Gajah Merah dan Anjing NICA yang terkenal brutal,” katanya.

Awalnya bala bantuan ini sempat dihadang oleh Kompi Martono. Namun pasukan Belanda lebih unggul. Serangan dan perebutan Jogjakarta oleh pasukan berlangsung hingga pukul 12.00 siang. Setelahnya seluruh pasukan meninggalkan Jogja kembali ke kantong perjuangan.

“Tujuan awal SO 1 Maret memang bukan untuk melumpuhkan tapi wujud eksistensi kedaulatan Indonesia. Atas aksi ini serangan langsung disiarkan melalui radio di kawasan Playen Gunungkidul. Berlanjut ke pemancar radio di Aceh dan diteruskan ke Radio All India dan disiarkan secara global,” jelasnya.

Sidang DK PBB mengetahui gerakan ini. Hingga akhirnya menyerukan adanya perjanjian Roem Royen pada 7 Mei 1949 di Jakarta. Isinya pemerintahan Indonesia dikembalikan, tawanan politik dibebaskan dan konflik antara Belanda dan Indonesia dihentikan diikuti dengan TNI diminta berhenti untuk bergerilya.

Pada masa-masa perjuangan tersebut, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara meminta Sultan HB IX memegang kekuasaan hingga pimpinan kembali. “Tampuk kekuasaan sempat dipegang HB IX dari 29 Juni hingga 6 Juli 1949, dan diserahkan kembali ke Soekarno Hatta,” katanya. (dwi/ila/mg1)