Dunia pertanian belum sepenuhnya tersentuh oleh masyarakat. Salah satu penyebabnya ada pergeseran mindset khususnya dari generasi muda. Tidak semua anak muda tertarik mendalami dunia pertanian. Padahal seiring perkembangan teknologi, dunia pertanian dapat turut serta dalam ruang tersebut.
Adalah TO Suprapto, pria paruh baya yang memiliki semangat tinggi dalam dunia pertanian. Guna mendukung semangatnya ini, ia mendirikan Joglo Tani. Terletak di Desa Margoluwih, Seyegan, Sleman, tempat ini merupakan Wahana Pembelajaran Pertanian Terpadu.
“Berdiri di atas lahan 5.000 meter persegi, dengan konsep optimalisasi lahan. Ada pertanian seperti sawah, kebun, ada hewan ternak hingga kolam ikan,” jelasnya kepada Radar Jogja yang menemuin di Joglo Tani, Rabu (2/5).
Salah satu program andalan miliknya adalah Gerakan Pembangunan Kawasan Masyarakat Pertanian Unggulan Rakyat Sejahtera Mandiri Pangan. Jargon panjang ini disingkat olehnya menjadi “Gerbang Kampung Raja Mapan”.
Konsep dari program ini adalah mengoptimalkan lahan yang dimiliki. Konsepnya mengedepankan tata kelola tanah pekarangan dan rumah tinggal. Artinya, semua orang bisa bercocok tanam meski hanya memiliki lahan yang minim.
Pria kelahiran Sleman 30 Januari 1957 ini memang mengedepankan kearifan lokal. Salah satunya memandang pekarangan rumah sebagai potensi lahan subur. Untuk menghasilkan hasil produktif, tidak perlu berambisi memiliki lahan yang luas.
“Visinya produktif tempat tinggalku, sejahtera keluargaku. Dikuatkan dengan misi menata, mengatur, mengelola tanah, jalan, pekarangan dan sawah menjadi lebih produktif. Caranya dengan mengubah pola pikir tentang potensi yang dimiliki,” ujarnya.
Ada berbagai pertimbangan mengapa konsep ini tepat untuk diterapkan. Salah satu alasan utama adalah mangkraknya pekarangan dan tanah sekitar rumah. Alasan lain adalah minimnya lahan luas karena mulai beralih jadi bangunan.
Konsep ini, lanjutnya, juga mendorong warga lebih produktif. Menurutnya, selama ini masyarakat cenderung konsumtif untuk kebutuhan pangan. Padahal dengan menanam dapat mengurangi angka konsumsi. Imbasnya tentu sejahtera pangan dan ekonomi yang lebih stabil.
Ia mencontohkan penanaman cabai dalam pot. Setidaknya untuk setiap rumah bisa menanam hingga empat pohon cabai. Diimbangi dengan teknik penanaman dan perawatan yang tepat, satu pohon cabai bisa produktif.
“Misal ada kelangkaan atau kenaikan harga, bisa disiasati dengan cara ini. Lebih produktif dan bisa menekan pengeluaran. Lalu bisa diimbangi dengan memelihara ternak. Limbah tanaman jadi pakan, limbah ternak jadi pupuk,” jelasnya.
Suprapto juga mengusulkan adanya sinergitas dengan pemangku kebijakan. Tujuannya agar program optimalisasi lahan bisa menjadi kampanye masif. Cara ini, lanjutnya, mampu membuat ikatan yang kuat antarkepala rumah tangga dengan pemerintah.
Dalam pertemuan dapat membahasa tata ruang lahan pekarangan. Penyusunan dapat dibagi dalam jangka pendek, menengah hingga jangka panjang. Selanjutnya menyusun standar operasional prosedur (SOP) teknis lapangan.
“Konsep ini tujuannya bisa mengembangkan mandiri pangan. Jika didalami secara serius, tentu tidak hanya memenuhi kebutuhan mandiri. Bahkan bisa menjadi nilai ekonomi jika hasilnya maksimal,” ujarnya.
Bicara mengenai Joglo Tani, Suprapto harus berjibaku cukup lama. Diakui tidak mudah mengubah mindset para petani. Mayoritas saat ini mengandalkan satu komoditas dengan jangka panen cukup lama.
Menurutnya, jeda waktu itu bisa diisi dengan komoditas hariannya. Hasil pertanian maupun perternakan pun terus ada setiap harinya. Joglo Tani sendiri menerapkan panen harian, mingguan hingga bulanan.
“Ada telur ayam dan bebek yang bisa diolah setiap harinya. Lalu mingguan bisa dengan hasil buah dari perkebunan, lalu berkala bulanan dari persawahan. Masih ada kolam ikan yang bisa diolah sewaktu-waktu. Jadi petani tetap memiliki penghasilan dalam setiap jeda panen,” jelasnya.
Tentang teknik tanam saat ini bisa diambil dari internet. Dia tidak menampik bahwa internet adalah jendela ilmu. Beragam ilmu pertanian tersaji di dunia maya. Mulai dari pertanian minimalis hingga dengan lahan luas.
“Intinya kembali ke diri sendiri untuk mengubah mindset tentang pertanian. Memang sempat ditinggalkan, tapi saat ini generasi muda perlahan mulai tertarik menggeluti dunia pertanian lagi,” katanya. (laz/mg1)