KULONPROGO – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai salah satu Raperda Inisiatif dewan sedang dalam tahap penyusunan. Raperda BPD tersebut salah satunya mengatur keterwakilan perempuan dalam unsur BPD dan teknis pengisian anggota BPD.

“Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No.110/2016 tentang BPD, di dalamnya mengamanatkan tentang keterwakilan perempuan. Hal tersebut untuk membawa perubahan terhadap eksistensi BPD,” kata Ketua DPRD Kulonprogo Akhid Nuryati usai Rapur tentang Raperda BPD, di DPRD Kulonprogo (28/5).

Jadi, minimal harus ada satu perempuan dari anggota BPD yang berjumlah paling sedikit lima dan maksimal sembilan. “Itu sifatnya wajib, tidak boleh tidak,” kata Akhid.

BPD memiliki peran penting dalam pemerintahan desa. Sebab BPD merupakan struktur pemerintahan paling bawah yang sangat diperlukan.

Terlebih, desa kini juga harus mengelola dana desa. BPD akan menjalankan tahapan perencanaan hingga penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Selain itu juga menampung aspirasi masyarakat desa, termasuk menjalankan pengawasan.

“Kendati demikian, dalam menjalankan tugasnya BPD memerlukan jaminan hukum. Jaminan hukum itu berbentuk Perda BPD yang tengah disusun ini,” kata Akhid.

Perda BPD nantinya akan mempertegas peran BPD. “Mendorong BPD untuk mampu menyalurkan aspirasi masyarakat desa demi mewujudkan tata kelola pemerintahan desa lebih baik,” kata Akhid.

Wakil Bupati Kulonprogo Sutedjo menyatakan unsur keterwakilan perempuan dalam BPD sangat penting. Perda BPD akan memberi ruang bagi daerah untuk menentukan sikap. Apakah model pengisian BPD melalui pemilihan langsung atau melalui musyawarah perwakilan.

Wakil Ketua BPD Giripeni Kecamatan Wates, Sri Widodo mengungkapkan, keterwakilan perempuan menjadi keseimbangan dalam BPD. Termasuk saat membahas segala hal dengan Pemdes.

“Idealnya memang ada anggota perempuan di dalam BPD. Minimal untuk mengakomodasi kepentingan mereka,” kata Sri Widodo.

Apabila pengisian anggota BPD dilakukan dengan pemilihan, desa akan menganggarkan biaya yang kadang jumlahnya mengada-ada. “Kalau musyawarah, tidak perlu anggaran pengadaan surat suara, kotak suara, dan lain-lain,” ujarnya. (tom/iwa/mg1)