RADAR Jogja sempat bertemu dengan salah seorang jukir di kawasan Malioboro yang pada akhir tahun lalu ditangkap Tim Saber Pungli Kota Jogja. Dia ditangkap karena dianggap membuka lahan parkir ilegal. Pria yang enggan namanya dikorankan itu juga menjalani sidang tipiring di Pengadilan Negeri (PN) Kota Jogja. “Saat disidang saya divonis denda Rp150 ribu. Setelah itu boleh pulang,” kenangnya.
Vonis tersebut tentu saja sangat jauh dari hukuman maksimal yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran maupun Perda Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum. Kedua regulasi tersebut sama-sama mengancam pelanggar perda dengan kurungan maksimal tiga bulan penjara atau denda paling banyak Rp 50 juta.

Menurut sumber tersebut, denda Rp150 ribu sangatlah ringan. Dia pun menyanggupi untuk segera membayarnya. Alasannya, pendapatan dari hasil membuka lahan parkir dengan tarif rata-rata Rp 5 ribu untuk motor dan Rp 10 ribu per mobil sangat cukup untuk membayar denda. Hal itu pula yang membuatnya nekat membuka lahan parkir lagi pada musim libur Lebaran lalu. “Kalau ketangkap lagi paling sama (hukumannya, Red) seperti dulu,” ujarnya santai.
Kondisi itu menuai kritik berbagai pihak. Seperti dilontarkan anggota Forum Pemantaun Independen (Forpi) Kota Jogja Baharuddin Kamba. Udin, sapaannya, mengaku sangat prihatin mengetahui vonis yang begitu ringan bagi jukir nakal. Menurutnya, Satpol PP selaku aparat penegakan perda telah mengajukan pasal yang memberatkan bagi para jukir nakal. “Seharusnya hakim memberikan efek jera bagi pelaku dengan hukuman berat,” pintanya.
Udin menegaskan, penegakan hukum bukan pada persoalan nilai rupiah yang harus dibayar pengguna jasa parkir. Tapi harus disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Di situlah letak pelanggarannya. Sehingga hukuman juga harus ditegakkan. Apalagi penghasilan jukir, menurut Udin, tidaklah sedikit.
“Selain merusak citra Jogja, jukir nuthuk tarif berpotensi menimbulkan budaya korupsi,” ujarnya. Meski nilainya tak seberapa, lanjut Udin, pelaku cenderung bertindak koruptif dari hal yang kecil.

Karena itu, razia jukir nakal tak boleh berhenti pascavonis hakim. Tapi harus lebih digiatkan, tanpa menunggu ada laporan atau keluhan masyarakat. Lebih parah jika yang mengeluh adalah wisatawan luar daerah. Apalagi jika keluhan itu diunggah di media sosial. Sudah tentu akan dibaca oleh seluruh pengguna dunia maya di dunia.
Guna mencegah terulangnya kasus nuthuk parkir, Udin mengusulkan revisi Perda Nomor 5 Tahun 2012, dengan melibatkan stakeholder yang benar-benar ahli dalam persoalan parkir. Sedangkan ancaman pidana bagi pelanggarnya harus ditingkatkan sebagai efek jera. Selain itu, hakim diharapkan punya pemikiran soal pidana efek jera dengan memberikan hukuman maksimal.
Terkait kebiasaan jukir nuthuk Ketua Pansus Raperda Perparkiran DPRD Kota Jogja Antonius Fokki Ardiyanto sempat mengusulkan kenaikan tarif parkir. Kenaikan tarif parkir tersebut, sekaligus untuk memaksa masyarakat menggunakan moda transportasi umum. Idealnya, ujar Fokki, tarif parkir mobil di kawasan umum Rp10 ribu setiap jamnya. Sedangkan motor Rp 3 ribu per jam. Sementara di kawasan wisata, mobil dikenakan tarif parkir Rp20 ribu tiap jam dan motor Rp10 ribu. “Itu sebagai upaya paksa. Agar masyarakat beralih menggunakan transportasi umum atau sepeda,” katanya.
Sementara itu, untuk mencegah praktik nuthuk parkir sementara ini Wali Kota Jogja Heroe Poerwadi mewacanakan membuat database para jukir nakal. Sebagai konsekuensi, segala bentuk bantuan dari pemerintah akan dibatasi bagi mereka.(pra/yog/mg1)