Maestro lukis sekaligus pendiri Sanggar Bambu Soenarto Pr yang meninggal dunia Selasa (24/7) pukul 22.00 dalam usia 86 tahun, kemarin dikebumikan di Makam Seniman, Imogiri, Bantul. Selain sejumlah karyanya yang monumental, kepergiannya juga meninggalkan kenangan indah di kalangan para seniman.

REREN INDRA NILA-SUKARNI MEGAWATI, Bantul
Pelukis yang dikenal sebagai Raja Pastel Indonesia itu tutup usia karena usia sepuh. “Bapak memang sudah kurang sehat karena usia yang sepuh,” ujar anak kedua Soenarto Pr, Mia Maharani, saat ditemui di rumah duka, Kasihan RT 06, Dk 09, Blok A No 10, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Rabu (25/7).

Soenarto Pr meninggalkan dua anak, Bima Batutama dan Mia Maharani, serta dua cucu perempuan. Di rumah duka, terlihat beberapa seniman melayat. Pagi hari tampak pelukis Nasirun, Butet Kertaradjasa, dan sekitar pukul 10.00 datang Kartika Affandi, serta sejumlah seniman kawakan lainnya.

Sosok Soenarto merupakan pelukis yang tidak bisa dipisahkan dengan Sanggar Bambu. Karena lewat sanggar yang disebutnya sebagai rumah untuk belajar ini, telah memunculkan banyak seniman handal.

Sanggar Bambu ia dirikan 1 April 1959. Tidak hanya seni rupa, kelompok seni ini juga berperan dalam dunia teater, musik, dan disiplin ilmu seni lainnya. Perjalanan seni Soenarto memang cukup panjang. Bakat seninya sudah mulai terlihat saat masih duduk di bangku sekolah dasar.

Saat itu, dia menorehkan beberapa sketsa wajah dan alam. Keinginan untuk meneruskan pendidikan seni rupa pun menjadi semakin kuat. Menjelang remaja, Soenarto memutuskan masuk ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Dia pun akhirnya menemukan jati diri sebagai pelukis realism naturalis.

Ada 10 karya Soenarto PR yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Mulai dari Relief dan Monumen Jenderal Ahmad Yani di Museum Sasmita Loka Jakarta, hingga karyanya di Monumen Latuhary, Pulau Haruku Ambon. Soenarto PR mendapatkan penghargaan Anugerah Seniman dan Budaya pada 2016 dari Dinas Kebudayaan DIJ.

Bagi rekan seniman Nasrullah, karya-karya Soenarto sudah menyentuh ranah kemanusiaan. Bahkan hingga hembusan nafas terakhirnya, ia begitu mencintai Sanggar Bambu yang antipolitik. “Pengorbanannya untuk sanggar luar biasa. Saya rasa, pengorbanan itu menjadi amal kebudayaan dan amal sholehnya,” kata Nasrullah.

Soenarto di mata Nasrullah merupakan sosok yang kontradiktif. Secara fisik Soenarto mungkin saja tampak sangar. Tapi jauh dalam hatinya ia merupakan sosok yang begitu lembut. Bahkan, kata Nasrullah, karya-karya sang maestro ini sudah menyentuh level humanis.

Kehilangan tidak cuma milik Sanggar Bambu. Tapi juga milik seluruh masyarakat. Tapi kehilangan ini tak lantas membuat patah semangat terlalu dalam. Para muda harus bangkit, mestinya ada regenerasi guna meneruskan perjuangan maestro tanah air. “Kerendahan hatinya sangat luar biasa. Dia hidup tidak untuk dirinya,” tegasnya.

Soenarto dikenal sebagai orang yang punya toleransi sangat tinggi. Dia juga memberi peluang kepada orang lain untuk mengeksplorasi dirinya untuk berkembang lebih maju. “Kesuksesannya tidak sebatas popularitas. Bukan sukses secara materi, tapi kesuksesan membangun karakter,” ujarnya.

Bukan cuma bagi rekan seperjuangan, Soenarto juga begitu lekat bagi Ketua Sanggar Bambu Totok Buchori. Menurutnya, Soenarto merupakan panutan. Sosoknya fleksibel dan selalu bersemangat sebagai teman berbicara. Apalagi bercerita tentang kesenian.

“Semangatnya tak pernah padam. Hingga akhir hayatnya, dengan fisiknya yang sudah renta, dia tetap punya semangat berapi-api,” ungkap Totok. Ia menuturkan, dua tahun lalu dia dipanggil oleh almarhum untuk bertemu. Dari pertemuan ini, Soenarto menyampaikan niatnya untuk dimakamkan di makam seniman. Letaknya tidak jauh dari makam Sapto Hoedojo.

“Setelah itu saya segera menghubungi pengelola makam dan menyampaikan,” jelasnya. Pesan kedua disampaikan setahun lalu. Saat itu Totok menyampaikan idenya untuk mengumpulkan karya seniman Sanggar Bambu untuk kemudian dilelang. Hasilnya untuk membeli tanah dan membangun satu mess bagi Sanggar Bambu agar tidak menyewa rumah lagi. “Ide itu disambut baik, sayangnya hingga saat ini belum terealisasi,” jelasnya.

Di mata Totok, Soenarto adalah sosok yang sangat loyal. Hidup sang maestro juga begitu bersahaja. Rumah yang ditempatinya hingga kini juga masih menyewa. “Kalau mau kaya bisa kaya sejak dulu. Tapi hasilnya diputarkan lagi di Sanggar Bambu,” kata Totok. Baginya, sang maestro selalu meluangkan waktu, keringat, dan dananya untuk kesenian. (laz/fn)