SLEMAN – Kabar pembangunan jalan tol di Jogjakarta mulai disikapi para kepala desa di Sleman. Jika jalan tol itu jadi dibangun, Sleman bisa menjadi pintu gerbang masuknya kendaraan dari Jawa Tengah.

Ketua Paguyuban Dukuh se-Sleman Suryondadari, Lekta Manuri menilai jika jalan tol jadi dibangun di Jogjakarta akan mengorbankan lahan masyarakat. Dia khawatir dengan persoalan mekanisme ganti rugi lahan.

Pembebasan tanah bukan perkara sepele sehingga pemerintah menggandeng pihak ketiga untuk penghitungan harga tanah (apraisal). “Pembebasan tanah bisa sampai ratusan hektare dan pihak ketiga harus netral,” kata Lekta.
Harga tanah yang ditentukan pihak ketiga, kata Lekta, akan berpengaruh pada anggaran pemerintah. Kebutuhan anggaran pembebasan lahan bisa sangat besar.
“Ini (penentuan harga tanah) bisa saja sarat intervensi,” ujar Lekta.

Masyarakat juga akan terdampak pembangunan jalan tol tersebut. Kehadiran jalan tol tentu berpengaruh terhadap perekonomian. Saat ini Sleman sedang gencar membangun desa wisata.

Kehadiran jalan tol, kata Lekta, berpengaruh pada kunjungan wisatawan. Pengguna jalan tol bakal enggan mampir Jogjakarta. Memilih langsung melewati Jogjakarta. “Posisi masyarakat akan terancam,” ujar Lekta.
Pembangunan yang berlangsung di Sleman saat ini membuat iklim investasi tumbuh. Di satu sisi menguntungkan pemerintah. Utamanya pendapatan daerah dari pajak tentu semakin banyak.

Namun warga asli Sleman bakal terpinggirkan. “Jika tidak ada regulasi, akan banyak lahan dikuasai warga luar Sleman,” kata Lekta.
Dia mengkritisi pembangunan yang marak di Sleman. Padahal Sleman dikalim sebagai daerah penyangga resapan air Jogjakarta.
“Daerah penyangga resapan air, tapi pembangunan apartemen, hotel dan perumahan terbanyak di Sleman. Apa kompensasi provinsi terhadap Sleman?” tanya Lekta.

Dia meminta pemerintah memikirkan nasib masyarakat Sleman. Terutama mereka yang akan terdampak kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman. “Paling tidak ada regulasi yang melindungi warga Sleman,” ujar Lekta. (har/iwa/mg1)