Simutaga membuka mata bahwa rumah hunianlah yang “membunuh” ketika terjadi gempa bumi. Karya Sarwidi, guru besar Universitas Islam Indonesia ini menjadi alat peraga mitigasi kegempaan.
Latifa Nurina, Jogja
Sarwidi bukanlah sosok asing dalam dunia mitigasi bencana. Terutama bencana gempa bumi. Gagasan maupun karyanya banyak diapresiasi. Baik di DIJ, Indonesia, bahkan internasional. Maklum, pria kelahiran Dusun Kaliurang, Hargobinangun, Pakem, Sleman ini memang cukup lama corcern meneliti dan merancang berbagai model bangunan aman.
Nah, salah satu karyanya kini dilirik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIJ. Karya guru besar teknik sipil yang dijadikan sebagai alat peraga pelatihan dan sosialisasi kegempaan itu bernama simutaga. Akronim dari simulasi ketahanan gempa.
”Simutaga efektif untuk sosialisasi,” ucap Sarwidi di sela penyerahan simutaga di kantor BPBD DIJ, Selasa (28/8).
Simutaga juga efektif untuk sosialisasi salah satu satu karya Sarwidi berupa bangunan rumah rakyat tahan gempa (barrataga). Barrataga konvensional dikenal sejak tahun 2001. Dalam perkembangannya barrataga konvensional melahirkan dua versi. Yakni, 2014 dan 2014. Pada 2018 lahir barrataga semikonvensional.
Di kantor BPBD, simutaga kemarin sempat diperagakan. Sekilas, simutaga sangat simpel. Hanya berupa miniatur rumah. Namun, miniatur rumah berwarna putih itu sanggup menjadi visual sempurna. Anak taman kanak-kanak sekalipun dapat melihat potensi bahaya gempa bumi pada rumah dengan konsep biasa dan bertahan gempa. Bagaimana tidak, pola kerusakan rumah simulator terlihat jelas saat terjadi gempa.
”Simutaga dapat menguji coba dampak kekuatan gempa hingga 7,5 skala richter,” tuturnya.
Ada beberapa model bangunan simutaga. Mulai reguler, setengah reguler, hingga bangunan ala barat. Yang pasti, bangunan tahan gempa memenuhi sejumlah aspek. Sebut saja fondasi, jenis tanah, ketebalan pasir terukur, dan jenis pasir. Plus peredam getaran gempa yang merambat ke bangunan. Berbagai aspek ini untuk meminimalisasi kerusakan sekaligus menyelamatkan nyawa penghuninya.
”Bangunan tahan gempa bukan berarti tidak bisa rusak. Rusak tapi jangan sampai membunuh orang,” ujarnya.
Dalam pencermatannya, masyarakat DIJ kurang begitu memprioritaskan aspek ketahanan gempa. Sebaliknya, mereka justru hanya “tergila-gila” dengan estetika dalam membangun rumah. Yang penting mentereng.
”Tulang-tulangannya kurang. Tembok dalamnya juga tidak bagus,” kritiknya.
Kecenderungan ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, DIJ pernah punya pengalaman pahit dengan gempa bumi. Persisnya pada 2006. Saat itu ribuan warga meninggal dunia. Rerata akibat tertimpa reruntuhan bangunan rumah.
Karena itu, Sarwidi berharap sosialisasi dengan simutaga mampu menggugah kesadaran masyarakat. Agar mereka mengonsep bangunan rumah dengan matang. Tidak semata-mata mengejar performance luar.
Di tempat yang sama, Kepala BPBD DIJ Biwara Yuswantara mengatakan, sasaran sosialisasi dan pelatihan penanggulangan kegempaan dengan simutaga adalah seluruh masyarakat DIJ. Itu bertujuan untuk membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman gempa.
”Dengan alat ini (simutaga) masyarakat bisa melihat secara komperhensif, jernih, tenang, ,” jelasnya.
Melalui simutaga ini pula, Biwara berharap masyarakat mengetahui bahwa yang “membunuh” adalah bukan gempa bumi. Melainkan reruntuhan bangunan rumah yang menimpa penghuninya. Dari itu, Biwara mengingatkan, upaya ini harus diikuti dengan langkah konkrit. Yakni, membangun rumah tahan gempa. (zam/mg1)