BANTUL- Setelah gempa 2006 lalu industri kerajinan keramik di desa Panjangrejo Jetis belum membaik. Bahkan saat ada showroom industri di sana. Beberapa pengrajin memilih untuk menjual produk gerabahnya di rumah.

Menurut Kasi Kesejahteraan Desa Panjangrejo Agus Dwiantara, sebelum gempa, di Jetis sudah mempunyai showroom yang baik. Tapi saat gempa 2006 showroom tersebut hancur dan di bangun lagi oleh Pemkab Bantul pada 2017 dengan anggaran Rp 600 juta.

”Saat ini bangunannya sudah lebih bagus dibanding sebelum gempa, namun pasarannya semakin berkurang,” katanya, Rabu (29/8).

(MEITIKA CANDRA LANTIVA/RADAR JOGJA)

Beberapa ruang garasi showroom ditutup. Kadang buka, kadang tutup. “Para pengrajin memilih berproduksi dan berjualan di rumah masing-masing,” tambahnya.
Salah satu penyebab sepinya showroom karena letaknya yang berada di kawasan jalan sepi. Yang lewat di sana hanya penduduk lokal yang mayoritas pekerjaannya juga pengrajin. Data pantauan terakhir 2013 di desa Panjangrejo, jumlah pengrajin mencapai 140 orang. Tapi dari keterangan Ketua Sentra Industri Jetis, Abdul Rasyid, jumlah industri saat ini sekitar 60 orang. “Rata-rata usia pengrajin di atas 40 tahun,” katanya.

Rasyid menambahkan sistem penjualan di Jetis, pengrajin mengutamakan penjualan produksi lebih ke souvernir. Sebagian pengrajin menjual produknya dalam bentuk mentah ke Kasongan. “Untuk desain dan pengembangan teknik masih minim. Para pengrajin masih menggunakan metode lama,” ungkap Rasyid.
Selain itu pembagian showroom, satu showroom untuk delapan pengrajin belum optimal. ”Kurangnya tenaga dalam mengelola produk di showroom. Juga sebabkan sepinya showroom,” ungkap Rasyid.

Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Bantul Sulistianto mengatakan showroom baru bisa beroperasi jika ada produksi yang ajek. ”Saya selalu menekankan pada setiap pelatihan agar pengrajin terus berinovasi. Agar bisa menarik minat pelanggan,” ungkapnya.(cr6/pra/mg1)