Yudi Aditya Nugraha, Penyambung Lidah Penyandang Disabilitas

Tidak semua orang paham dengan bahasa isyarat. Pun tidak semua orang paham dengan permasalahan yang dialami oleh tunarungu. Itulah yang menjadi semangat Yudi Aditya Nugraha untuk berjuang.

JAUH HARI WAWAN S, Sleman

Kedatangan Radar Jogja ke kantor Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas DIJ beberapa hari yang lalu masih menyisakan cerita. Saat itu seorang pria langsung menyambut dengan senyum khas.
Dengan mantap, pria berpostur tinggi itu melangkah dan lantas mengulurkan tangan.

”Saya Adit,” katanya berusaha memperkenalkan diri.

Saat itu, sosok pria bernama lengkap Yudi Aditya Nugraha lah yang menyita perhatian. Sebab, hampir di seluruh ruangan hanya Adit yang bisa diajak berkomunikasi tanpa menggunakan bahasa isyarat.

”Saya di komite bekerja sebagai asisten komite sekaligus juru bahasa bagi mereka yang tuli,” kata Adit menjelaskan keseharian pekerjaannya.
Pria asal Bantul kelahiran 24 Juli 1990 silam itu menyebut banyak hak penyandang disabilitas yang belum terakomodasi. Terutama mereka yang termasuk dalam kategori tuli. Sayangnya, suara mereka belum juga tersampaikan. Keterbatasan bahasa menjadi penghalang.

”Nah, itu yang saat ini sedang saya perjuangkan bersama,” ujar pria lulusan Universitas Sebelas Maret itu.

Adit semula tidak begitu peduli dengan hak-hak penyandang disabilitas. Pertemuannya dengan para tunarungu lantas mengubah pandangannya. Bahkan, Adit pun mulai tertarik mempelajari bahasa komunikasi mereka.
”Saya belajar. Akhirnya sedikit-sedikit saya mengerti,” ujar pria yang sudah memiliki istri itu.

Sejak pertemuan itu, Adit aktif di berbagai lembaga yang memperjuangkan hak-hak kaum tuli. Dari cerita mereka, Adit akhirnya mengetahui apa yang sebenarnya menjadi kendala, selain bahasa.

”Hambatannya banyak. Jadi saya pengin apa sih yang bisa saya bantu,” ujar Adit yang mengaku mulai belajar bahasa isyarat sejak 2013 itu.

Banyak kendala yang dihadapi Adit selama awal-awal masa belajar bahasa isyarat. Yang paling susah baginya adalah menghafal kosakata. Kosakata bahasa isyarat seperti bahasa Inggris. Kendala lainnya adalah struktur bahasa. Struktur bahasa isyarat dengan Bahasa Indonesia berbeda.

”Ditambah setiap daerah memiliki bahasa isyarat masing-masing,” sambungnya.

Dari cerita Adit, pernah suatu kali dalam acara teater dia diminta menjadi juru bahasa. Mayoritas penontonnya saat itu adalah tunarungu. Itu pengalaman pertamanya sebagai juru bahasa.

”Yang jelas grogi. Sempat khawatir tidak bisa menyampaikan dengan baik. Khawatirnya nanti malah salah interpretasinya,” kenangnya.

Selepas acara itu, Adit kian ketar-ketir. Dia khawatir bakal diminta lagi menjadi juru bahasa. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Teman-teman tuli malah memintanya untuk terus mendampingi.

”Kata mereka, agar cepat lancar. Karena memang sistemnya adalah belajar bersama,” ucapnya.

Kini, setelah aktif di komite sejak 2016, dia ingin terus menyuarakan apa yang tak bisa disuarakan oleh teman-teman tuli. Sebab, biasanya ketika orang itu tuli, dia juga tidak bisa berbicara. “Penginnya ke depan terus berusaha agar teman-teman tuli mendapatkan akses komunikasi dan informasi di semua aspek,” harapnya. (zam/by/mo1)