Referensi saya dalam hal film dokumenter berbasis perjalanan karir musik musisi atau band musik bisa dibilang minimal. Oleh karenanya, konteks komentar receh saya atas film dokumenternya Coldplay kali ini adalah sebagai seorang mantan fans mereka, yang mungkin meski sudah nggak ngefans, tetap akan mengikuti karya mereka dan nggak akan pernah membencinya.
Saya mulai nggak ngefans sejak album Mylo Xyloto (2011) yang ironisnya justru malah diakui Chris Martin, sang vokalis dan macam jubir grup, sebagai album yang selalu ingin dia buat.
Film dokumenter ini dibuat dalam rangka merayakan 20 tahun sejak pentas pertama mereka. Judul album ini diambil dari album studio ke-7 mereka, yang mana merupakan konser tur dunia mereka yang paling akbar menggelegar dari segi konsep dan jumlah penonton.
Plot film ini lebih ke merangkum bagaimana Coldplay sebagai grup yang terbentuk dari basis pertemanan di kampus hingga jadi besar seperti sekarang tanpa ada perubahan personel dan, mengharukannya, mereka dinilai tetap sama seperti dulu oleh orang-orang di sekitarnya. Tak ada yang berubah setelah terkenal. Ini adalah pesan cinta paling nyata dari Coldplay.
Dari tur dunia bertajuk A Head Full of Dreams yang tampil di lebih dari 100 panggung itu, penonton diajak berkilas balik ke bagaimana band ini terbentuk hingga memproduksi album demi album melalui arsip rekaman-rekaman video amatir yang ada. Tak ada konsep khusus yang saya rasakan, kecuali menyusun rekaman demi rekaman dalam urutan logis mengikuti plot. Sebagai sebuah film dokumenter saya rasa film ini agak terasa mentah. Ia tak berkata lebih. Sebenarnya tentu, ada plus-minus di sini.
Plusnya, bisa menyaksikan polah alamiah para personelnya yang mana dalam tataran tertentu membuat kita merasa dekat dengan mereka secara fisik. Minusnya, kedekatan ini tak sampai melangkah lebih jauh ke obrolan dari hati ke hati. Itu karena minim wawancara tatap muka di dalamnya yang membuat kita bisa melihat ekspresi mereka ketika menarasikan arsip rekaman yang sedang berjalan/tayang. Suara-suara meraka lebih menjadi narator dan sebagai latar penjelas deskripsi. Untung saja di layar dibantu tulisan nama bahwa sekarang siapa yng sedang ngomong karena lama-lama suara mereka terdengar serupa meski tak sama.
Dari segi ritme, film ini ajaibnya justru kelamaan membahas di masa-masa album awal yang mana saya suka. Ketika makin ke belakang semacam panik bahwa durasi sudah panjang dan masih ada beberapa album yang belum dibahas.
Korbannya justru Mylo Xyloto (2011; album ke-5) yang cuma dibahas sekelumit, sehingga ada kesan terburu-buru ditutup. Perkara lainnya yang teraba adalah tak cukup dinamis dan ada klimaks dalam film ini. Salah satu sebabnya adalah Coldplay sendiri memang band yang prjalanan karirnya relatif “aman” alias ora kakeyan petingsing. Saya bisa maklumi itu, tapi sebenarnya kalau mau dicari si sutradara bisa ngulik-ngulik dan memperdalam prahara dalam manajemen dan kritik atas beberapa album yang pernah mereka lalui secara lebih intim.
Yang membuat saya sedikit kecewa dari film ini adalah kurang berhasilnya menampilkan aura magis performa Coldplay di atas panggung, sebagaimana yang pernah saya rasakan ketika menonton DVD Coldplay Live 2003. Tak ada satu pun momen dalam film yang benar-benar diarahkan untuk membuat penontonnya terhanyut dan membuat mantan fans macam saya ini CLBK. Ah, sayang sekali.
Saat menulis komentar ini saya sambi dengar koleksi-koleksi lamanya Coldplay, tapi bukan semata-mata gegara efek nonton film ini. Namun, karena saya ingin bernostalgia. Bagaimanapun, saya ikut bangga pernah menjadi bagian dari fans mereka. Salutku untuk mereka! (ila)
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.