JOGJA – Ini yang dikhawatirkan setiap musim penghujan. Talud Sungai Code ambrol. Setiap tahun bencana itu selalu terjadi. Kali ini menimpa warga Kampung Prawirodirjan RT 59 / RW 18, Gondomanan, Kota Jogja. Talud sepanjang 50 meter dan tinggi 6 meter ambrol kemarin (5/12) pagi. Sekitar pukul 05.30. Meski tak ada korban jiwa, sedikitnya 24 warga mengungsi.

Talud ambrol menyebabkan enam rumah warga rusak parah. Demikian pula balai RW dan sarana mandi cuci kakus (MCK) umum. Posisi seluruh bangunan rusak sangat dekat dengan bibir sungai. Tak lebih satu meter. Polisi telah memasang garis polisi di lokasi tersebut. Agar tak dilanggar oleh warga. Demi keselamatan mereka. Para korban telah mengevakuasi barang-barang berharga ke tempat lebih aman.

“Hujan semalaman membuat debit air sungai naik. Menggerus tanah di bawah fondasi rumah. Mungkin karena itu,” duga Ketua RW 18 Prawirodirjan Wikan Eko Pamuji.

Menurut Eko, talud ambrol memang sudah uzur. Dibangun 1980. Sebelum masuk musim hujan kondisinya tidak bagus. “Tapi baru kali ini ambrol. Mungkin efek sungai meluap atau banjir yang dulu-dulu,” jelasnya.

Sukandar, warga setempat, mengungkapkan, ketika talud ambrol dirinya sedang merebus air di dapur. Sebelumnya dia melihat kondisi talud tampak miring. Tepatnya talud di belakang gardu ronda.

“Tiba-tiba terdengar suara gemuruh, brooll! Saya baru meletakkan ceret, langsung terdengar grudug-grudug,” katanya.

Demi keselamatan, para korban mengungsi di rumah tetangga yang jauh dari bibir sungai.

“Kebetulan mereka semua punya saudara di dekat rumah,” ungkap Sukandar.
Anggota Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Jogja Suyatman mengatakan, penanganan awal di lokasi bencana dengan mendistribusikan bantuan logistik. Berupa makanan dan terpal. “Nanti juga akan kirim 200 karung pasir,” ucapnya.

Sebelumnya, pada Senin (3/12) luapan air Sungai Code diduga menjadi penyebab amblasnya jalan kampung di wilayah Terban, Gondokusuman. Tepatnya di RT 01 / RW 01. Tanah yang menjadi akses utama warga amblas sedalam 30 cm. Sepanjang 2 meter dan lebar 1,5 meter. Hal itu diduga terjadi lantaran tanah terkikis air hujan.

Kepala Bidang Sumber Daya Air, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Kota Jogja Aki Lukman Noor Hakim mengklaim telah membangun tanggul cukup tinggi bantaran sungai. Agar luapan air tak masuk permukiman penduduk. Debit air yang terlalu tinggi ditengarai menjadi penyebab luapan sungai masuk permukiman. Kondisi itu diperparah adanya celah di bawah tanah bantaran. Seperti kasus banjir Sungai Belik yang menimpa warga Gondokusuman Senin (3/12).

Menurut Aki, salah satu cara mengurangi debit air dengan memanajemen aliran sungai. Embung di UGM perlu dimaksimalkan. Untuk menampung suplai air dari Selokan Mataram.”Harusnya ditampung di UGM dulu, begitu meluap baru masuk ke aliran Sungai Belik,” katanya. Selain itu, perlu diterapkan pola buka tutup pintu air Embung Langensari. Serta normalisasi embung dengan mengeruk endapan.

Sementara itu, selama musim hujan BPBD Sleman fokus memantau potensi tanah longsor di kawasan perbukitan. Khususnya di wilayah Gamping, Godean, Seyegan, Prambanan, dan Cangkringan. Potensi longsor tertinggi di Prambanan. Tersebar di empat desa. yakni Sumberharjo, Gayamharjo, Sambirejo, dan Wukirharjo. “Empat desa itu jadi perhatian khusus kami,” ungkap Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Sleman Makwan.

Menurutnya, di wilayah Sleman sudah terpasang 30 perangakt early warning system (EWS). Untuk peringatan dini tanah longsor maupun banjir. Namun Makwan tak menjamin ke-30 EWS berfungsi baik. Karena itu dia mengimbau masyarakat untuk selalu waspada selama musim penghujan.

Camat Pramabanan Eko Suhargono merinci ada 11 dusun dengan potensi longsor tertinggi. Yakni: dua dusun di Sumberharjo, empat di Wukirharjo, tiga di Sambirejo, dan empat lainnya di Gayamharjo. “Sejauh ini EWS terpasang hanya di dua tempat. Ini jelas belum mencukupi,” ungkapnya. (tif/har/yog/fn)