Tak terhitung kecelakaan laut dialami nelayan berperahu jukung. Seperti di Pantai Baron, Gunungkidul 20 November lalu. Kejadian serupa di Pantai Glagah, Kulonprogo sepekan kemudian. Kondisi kedua perahu sama. Terbelah menjadi dua bagian setelah dihantam ombak.

SUDAH puluhan tahun perahu jukung menjadi favorit nelayan pantai selatan Jogjakarta. Ombak besar laut selatan Jawa tak membuat keder para nelayan. Meski perahu berbentuk panjang dengan katir (penyeimbang bagian kanan dan kiri) hanya didukung mesin motor temple berkekuatan 15 PK. Jadi favorit karena dinilai lebih mudah untuk menembus alun (gelombang laut). Saat nelayan berburu ikan.

“Jukung memang paling representatif jika melihat teknologi yang dikuasai nelayan saat ini,” ungkap Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kulonprogo Sudarna kepada Radar Jogja beberapa waktu lalu.

Posisi pendaratan di pantai turut berpengaruh. Sehingga jukung menjadi pilihan utama nelayan. Meski hasil tangkapan ikan dengan jukung tak maksimal. Untuk hasil maksimal nelayan butuh kapal berkapasitas lebih dari 10 growstones (GT). Yang mampu menjangkau lautan lebih dari 12 mil dari garis pantai. Dan lebih mudah didaratkan di pelabuhan. Namun apa daya nelayan.

MENGAIS REZEKI LAUT: Nelayan Pantai Trisik, Kulonprogo sedang menjala ikan. (RADAR JOGJA FILE)

Pelabuhan Tanjung Adikarta Kulonprogo tak jelas kapan beroperasi. Karena itu para nelayan pilih melaut dengan teknik konvensional. Pakai jukung berkapasitas 4-5 GT. Supaya lebih mudah didaratkan di pantai. Di Kulonprogo ada tujuh titik pendaratan ikan. Mulai Pantai Trisik, Imorenggo, Bugel, Karangwuni, Glagah, Sidutan, dan Jangkaran (Congot).

Tipikal ombak laut selatan yang ganas tidak hanya menuntut kondisi perahu yang benar-benar prima. Tekong (pengemudi perahu) harus memiliki skill tinggi. Dengan pengalaman melaut yang tinggi. Itu demi menghindarkan kecelakaan laut.

Kendati demikian, sejauh ini pemerintah setempat tak menetapkan sertifikasi keamanan perahu di bawah 10 GT. Nelayan bebas menggunakannya tanpa harus ada izin operasional. Padahal tingkat risiko yang dihadapi nelayan sangat tinggi. Terlebih saat cuaca ekstrem. Soal keselamatan nelayan, Sudarma mengaku sering mengingatkan mereka. Agar selalu mempertimbangkan faktor cuaca. Dan tidak memaksakan diri melaut jika cuaca tak bersahabat.

Dinas juga kerap memberikan pelatihan perbengkelan. Untuk merawat mesin motor temple dan body perahu. Namun soal perahu terbelah, Sudarma tak menampik bahwa nelayan Kulonprogo belum mampu memperbaikinya sendiri. “Kalau sebatas jangklar (retak) atau bocor sudah kami beri pelatihan lewat ahli. Juga untuk perbaikan mesin motor,” ungkapnya.

Wakil Koordinator SAR Linmas Wilayah V Pantai Glagah Syamsudin mengimbau nelayan selalu berhati-hati. Meskipun sudah hafal dan tahu tipikal laut selatan. Terlepas dari keterampilan dan sarana pendukung, kecelakaan bisa terjadi kapan saja.

(GRAFIS: HERPRI KARTUN/RADAR JOGJA)

“Antisipasinya ya jangan bosan untuk melakukan cek perlengkapan keselamatan melaut,” tuturnya. Rompi pelampung wajib dikenakan. Kondisi mesin juga harus dipastikan baik dan tidak mudah mati. Bahan bakar cadangan harus selalu tersedia. Kondisi laut juga harus selalu diperhatikan. Sebelum melaut, nelayan harus memastikan kondisi laut layak dikarungi jukung.

Lantas, seberapa layak perahu jukung sebagai sarana pengarung samudera? Radar Jogja berkesempatan ngobrol dengan seorang  warga Gunungkidul yang berprofesi sebagai tukang perahu jukung. Namanya Widiyono. Warga pesisir yang juga anggota SAR Gunungkidul. Menurutnya, perahu jukung berbahan fiberglass tergolong aman. Asalkan tak terbentur benda keras di lautan.

Misalnya batu karang. “Kalau hanya benturan ombak, sejauh ini tidak pernah ada catatan jukung mengalami kerusakan,” ujarnya.

Widiyono kerap memperbaiki perahu jukung rusak. Dengan tingkat keparahan beragam. Mulai ringan hingga berat. Rusak ringan berupa retakan atau bocor. Tingkat terparah jika jukung sampai terbelah menjadi dua bagian. Atau pecah.

Kapal rusak ringan cukup ditambal. Tentu bukan asal tambal. Namun dengan trik dan lem khusus. Retak sepanjang 10 cm, misalnya. Tambalannya harus lebih luas dibanding keretakannya. “Kalau terbelah dua bagian ya direkatkan lagi dengan tambalan ekstra,” katanya.

Perbaikan perahu butuh waktu paling lama empat hari. Itu sudah termasuk tahap pengeringan. Jika tambalan mengering, perahu siap digunakan melaut lagi. Nelayan dituntut melakukan pengecekan rutin. Terutama di bekas tambalan. Supaya perahu lebih awet. Dan demi keselamatan nelayan. “Itu harus,” tegas Widiyono. “Jangan sampai melaut dengan perahu yang belum dicek fisik,” lanjutnya.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Gunungkidul Rujimanto mengatakan, jumlah perahu jukung di wilayahnya kurang lebih 1.200 unit. “Per unit maksimal mengangkut beban 1 ton dengan dua nelayan termasuk tekong,” jelasnya.

Semua perahu jukung di Gunungkidul buatan Cilacap, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejauh ini nelayan yang beroperasi tidak memiliki izin melaut. Sama dengan nelayan Kulonprogo. Bukan karena ngeyel. Tapi karena kelengkapan surat-menyurat hanya berlaku untuk kapal berukuran diatas 10 GT. “Sertifikasi nelayan juga belum ada. Namun kami selalu mengingatkan kepada nelayan sebelum melaut agar membekali diri dengan pelampung,” ujarnya.

Sekretaris Tim SAR Korwil II Gunungkidul Surisdiyanto mengungkapkan, sepanjang tahun ini tercatat ada tiga kasus kecelakaan perahu jukung. Paling parah pada 20 November lalu. Perahu terbelah menjadi dua bagian. Semua korban selamat. (tom/gun/yog)