Kalau kamu termasuk penonton yang garuk-garuk kepala sebab agak kecewa dengan Ocean’s Eight maka saya dengan senang hati merekomendasikan film ini. Bukan perkara atas keseruan aksi perampokan yang dilakukan oleh regu cewek dalam rangka menjunjung tema kekuatan perempuan yang ditawarkan film ini, melainkan lebih ke kekayaan plot yang relevansi isu sosialnya beresonansi cukup kuat. Di sini Steve McQueen (12 Years A Slave) tetap mengedepankan isu tentang problema rasialisme di AS.

Film ini menceritakan tentang beberapa janda di Chicago yang ditinggal tewas suami-suami mereka yang berprofesi sebagai perampok profesional (amannya, bisa disebut para kriminal). Para suami itu ditumpas polisi saat beraksi. Nahas sudah jatuh tertimpa tangga menimpa para janda itu, sebab selain kehilangan suami tersayang mereka juga dibayangi ancaman dari orang yang uangnya kerampok oleh aksi terakhir suami mereka. Para janda diberi tenggat sebulan untuk mengembalikan uang hasil rampokan para mendiang suami mereka.

Penyelesaian konflik dalam plot film ini menjadi tidak mudah karena banyak kondisi yang memperparah keadaan, termasuk hubungan antara uang rampokan dan pemilihan wali kota (politik praktis). Sempat dalam beberapa saat menonton film ini saya merasa konfliknya kebanyakan dan berlapis-lapis. Kewalahan ini makin menyiksak saya ketika di awal durasi film pengadegan yang dipilih adalah paralelisme loncat sana dan sini yang asinkronus. Pengunjung, belum sempat kenal karakter-karakternya langsung diberondong subplot-nya.

Kelebihan dari kekacauan di fase pembangunan konteks ini adalah ia mempermudah penonton mengikuti alur berikutnya. Penonton jadi macam sudah siap dengan berlapis-lapis subplot dalam aksi para janda dalam menebus ”utang” yang ditinggalkan mendiang para suami kriminal.

Dalam subplot itulah kekayaan film ini terletak. Borok-borok politis, feminisme, dan rasialisme diaduk-aduk merata hingga penonton melupa bahwa pada dasarnya film ini tak ubahnya sebuah drama aksi. Meskipun muatan ”sampingannya” cukup berat film ini tetap tak melupakan ”kodrat”-nya sebagai film drama aksi.

Ada momen di mana sebagai penonton merasa spontan ingin bertepuk tangan saat melihat aksi para janda ini kita rasa berhasil. Satu pelintiran plot yang susah terantisipasi pun jadi salah satu kekurangan sekaligus kelebihan film ini. Kurangnya karena terlalu berisiko, sedangkan kelebihannya karena meski berpotensi absurd tapi tetep bisa dipercaya karena dukungan narasi dari subplot yang bergulir.

Walaupun tak bisa terhindar dari kesan menyederhanakan fase solusi, film ini adalah bukti bahwa narasi berikut subplot yang super rapat tetap bisa dibuat seru tanpa perlu mengabaikan agenda politis yang diusung sineasnya, dalam hal ini khususnya sutradara. Tentunya jarang menikmati snack atau soft drink bernutrisi bukan? Film ini senantiasa menggugurkan mitos itu. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.