Film ini pantas dirayakan bersama keluarga dan teman karena kategori usianya yang untuk semua umur. Ya meski ada satu adegan kecupan pisces alias posisi bolak-balik antara Spider-Man dan MJ yang ada di Spider-Man 2, kalau nggak keliru, Spiderman versinya Sam Raimi.
Di samping itu, visualisasi di film ini sangat memanjakan mata karena bergaya ala cetakan tak-sempurna buku komik Marvel era lama dengan pemakaian warna-warna ngejreng yang berhamburan dan bertabrakan. Ini membuat kita merasa macam membalik-balik halaman buku komiknya dengan tingkat kesegaran yang maksimal. Hmm, memang saya bisa memahami kalau ada yang protes bahwa visualisasi film ini macam proyeksi film 3D karena ada garis hantu (ghosting) di sekitaran pinggiran garisnya, tapi setelah mata kita beradaptasi maka jadinya malah adiktif.
Dari segi plot, film ini saya bilang cukup berantakan. Narasinya terasa menyesakkan karena berjejalan karakter-karakter utama yang menuntut porsi panggung di dalamnya. Solusi yang dipilih adalah dengan memberikan konteks sepintas ketika setiap karakter utama muncul untuk pertama kalinya. Sekali dua kali tak mengapalah, tapi setiap kali begitu menjadikannya cukup menjemukan: urgent tapi mengganggu.
Bagi yang bukan penikmat atau pengikut seri komik Spider-Man seperti saya film ini terlalu kaya karakter, sehingga momen konteks yang saya sebut menjemukan tadi cukup membantu meski tak sepenuhnya membuat paham. Bagi fans berat Spidey, film ini saya terka bakal sangat memuaskanmu.
Film ini bercerita tentang seorang bocah Brooklyn bernama Miles Morales yang menjadi Spider-Man (karena gigitan laba-laba radioaktif) tatkala Peter Parker yang telah tewas muncul kembali dari jagat paralel lain akibat kerja mesin waktunya Kingpin.
Peter diminta Miles melatihnya untuk menjadi Spider-Man ketika mereka berdua menjalani misi memulangkan Peter Parker ke jagat asalnya dan menghancurkan mesin multijagatnya Kingpin yang berpotensi menghadirkan penjahat-penjahat dari jagat lain bermunculan.
Film ini termasuk film dengan cerita yang tak rapi dan ceroboh, tapi ajaibnya sukses gemilang memuaskan dahaga sinematik saya karena visualisasinya yang aduhai, yang membuat saya seolah-olah dihadapkan pada seember es krim warna-warni berkeringat persis seperti foto poster iklannya. Selain itu, musik-musik pengiringnya yang dinamis membuat aura film ini terasa kece. Dan, kita yang menontonnya pun jadi ikut-ikutan merasa keren.
Hal lain yang membuat saya “mengampuni” keamburadulan plot utama film ini adalah ide melahirkan karakter barunya guna membuka jagat baru yang efektif, macam ketika 007 Skyfall yang mematikan M. Satu langkah berani yang problematis tapi terasa perlu dan beralasan kuat atas nama evolusi ikon.
Ini jelas salah satu unggulan film animasi 2018. Mudah rasanya untuk bilang bahwa Into The Spider-Verse adalah film animasi terbaik tahun ini. (ila)
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.