KESEIMBANGAN adalah kata kunci dalam banyak aspek kehidupan. Bahkan, dalam olahraga pun kosa kata ini sering diucapkan orang (para pakarnya). Liverpool FC adalah kesebelasan di Liga Inggris yang sangat produktif menciptakan goal. Tapi, tak pernah menjadi juara liga.

Para komentator sepak bola melihat klub terkenal ini tak selalu mampu menjaga keseimbangan antara produktivitas penyerangnya dalam menghasilkan gol dengan kemasukan bola sebagai akibat kelemahan dari aspek pertahanan. Artinya, mencari keseimbangan tim itu sangat penting dalam olahraga (dan tontonan) sepak bola tersebut agar mampu menghasilkan sesuatu dengan optimal. Bukan saja enak ditonton, tetapi juara kompetisi.

Tak hanya dalam olahraga, pola makan yang tak seimbang pun bisa mendorong metabolisme tubuh yang tak seimbang dan mendorong terjadinya penyakit dalam tubuh seseorang. Dalam bisnis pun, keseimbangan pergerakan organ atau fungsi dalam mengoperasikan ke seluruh sistem mempengaruhi tingkat keberhasilan perusahaan itu sendiri. Sukses dalam menangguk pesanan dari konsumen harus diimbangi dengan kualitas produk yang diinginkan konsumen. Dan, tentu, harus bisa diimbangi dengan perencanaan finansial yang tepat pula.

Kegagalan dalam delivery produk misalnya, akan mempengaruhi kinerja pemasaran dan sistem yang lainnya. Artinya, ketidakseimbangan itu adalah penyakit potensial yang dapat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan ataupun semua bentukan sistem ataupun organisasi.

Demikian juga bilamana melihat suatu kota sebagai organisasi sosial terbuka, maka ketidakseimbangan dalam kehidupan kota pun akan menjadi penyakit dikemudian hari. Hal yang sama pun berlaku dalam unsur pemerintahan daerah lainnya.

Semua unsur atau aparatur harus dapat bergerak menjaga kesimbangan dalam organisasi. Dan yang penting dipahami, bahwa organisasi pemerintahan di daerah sebagai suatu sistem itu tak sebatas pada birokrasi pemerintah dengan semua perangkatnya maupun legislatornya sebagai mitra kerja.

Sebagai suatu sistem harus menempatkan semua infrastruktur kota atau daerah dan manusianya (rakyat) dalam satu kesatuan utuh organisasi pemerintah daerah. Cara pandang inilah yang akan membuka cakrawala pemerintahan primitif yang selama ini dianut yang memisahkan masyarakat luas di luar batas sistem pemirintahan, meski dipupuri dengan jargon yang hebat: abdi masyarakat.

Dalam pandangan pemerintahan yang primitif, anggota dewan merasa sebagai mitra kerja yang punya otoritas mewakili rakyat pemilih. Sehingga, dalam dirinya muncul keyakinan harus tampil seolah sebagai pahlawannya rakyat. Mereka pun harus tampil seolah hebat meskipun tidak hebat, kehebatannya dipertontonkan dalam bersuara keras dan garang.

Di pihak birokrasi pun, selalu muncul sebagai pelayan rakyat, meskipun bentuk layanan yang diinginkan masyarakar tak jelas wujudnya. Definisi pelayanan pun menjadi kabur karena layanan yang diberikan adalah standar kerja petugas dan bukan kebutuhan rakyatnya. Birokrasi selalu berlindung pada pengertian payung hukum, bukan subtansi apa yang harus dikerjakan untuk rakyat yang sebetulnya bagian dari sistem pemerintahan di daerah itu sendiri.

Lebih parah lagi, primitivitas pemerintahan itu dalam konteks keuangan daerah yang memandang semua pajak dan retribusi daerah sebagai sumber keuangan dan menjadi otoritas birokrasi untuk memanfaatkannya. Para pembayar pajak dan retribusi daerah ini pun tak lagi punya suara untuk bertanya, duit yang telah mereka bayarkan tersebut untuk apa saja. Sebagai pembayar pajak dan retribusi, mereka tak akan pernah paham duitnya apakah bermanfaat untuk kepentingan bersama dan tentu dirinya juga.

Atas nama undang-undang, duit ratusan miliar rupiah dari pajak dan retribusi daerah itu, sepenuhnya menjadi hak mitra kerja pemerintah daerah untuk memutuskan bersama para birokratnya. Mereka pun tidak bisa bersuara ketika duit yang dibayarkan lebih banyak untuk kunker anggota dewan dan para pegawai pemerintah daerah. Pembayar pajak ini pun tidak bisa berkata apa-apa kalau kunker itu hanya kata lain dolan-dolan sekadar cara untuk menghabiskan anggaran.

Sering kali, justru di area penyumbang pajak dan retribusi daerah malah tidak kebagian alokasi anggaran dalam jumlah yang cukup. Sehingga kawasan pebisnis batik dan hotel di bagian selatan Kota Jogjakarta, tak pernah berubah: jalan dari tahun 1960 pun tetap sempit, minim pedestrian, dan tidak pernah punya taman kota yang asri.

Di berbagai kota besar pun, situasi yang sama akan kita temukan. Kawasan penyumbang pajak daerah tak tersentuh anggaran dari daerah sendiri. Sebaliknya, suatu area yang dipandang jadi ikon daerah justru menjadi curahan dan limpahan anggaran yang sangat deras, meskipun tak pernah memberikan kontribusi pendapatan darah yang memadai.

Kawasan alun-alun dan pusat kota sering kali justru memperoleh kucuran dana berpuluh miliar rupiah, hanya untuk sebuah gengsi sang kepala daerah. Banyak pemerintahan kabupaten yang mampu membangun patung Arjuna Wiwaha dan taman kota miliaran rupiah sementara jaringan infrastruktur jalan ke pelosok desanya nihil.

Padahal, sumber keuangan daerah itu justru dari komoditas yang berasal dari seluruh pelosok desa tersebut. Tarik menarik kepentingan dalam proses penganggaran akan berdampak pada ketidak seimbangan pertumbuhan daerah itu sendiri.

Ketidakseimbangan dalam pembangunan di daerah itu tercermin dalam ketidakseimbangan alokasi anggaran yang diputus kepala daerah bersama mitra kerja. Hal ini akan menjadi penyakit. Bukan hanya di daerah itu sendiri. Tetapi, justru menjadi penyakit bagi daerah tetangganya. Bahkan, bisa berpengaruh pada skala nasional.

Ketidakseimbangan pembangunan infrastruktur akan berpengaruh pada kemacetan lalu lintas. Bukan saja di lokasi objek wisata. Tetapi, ke seluruh kota. Bahkan, ke tetangganya di wilayah kabupaten di kelilingnya. Bahkan, bisa menjadi sumber kemiskinan struktural pada suatu daerah dan menjadi pemasok sumber daya demonstran di setiap peristiwa politik nasional.

Sering kali kita menganggap bahwa keseimbangan itu hanya urusan ekonomi saja. Tetapi, sebetulnya, keseimbangan itu diperlukan untuk semua aspek kehidupan. Para pengambil keputusan itu sendiri sering tak menyadari bahwa adanya suatu kawasan yang terdelusi dalam persaingan antardaerah. Dan, persaingan bisnis antardaerah adalah sebagai akibat keputusan mereka sendiri karena tidak memahami bagaimana caranya menata anggaran di daerah yang disebut APBD. (*/amd)