HARTA yang paling berharga adalah keluarga. Begitulah jargon legendaris dari serial TV legendaris yang mengisahkan tentang kehidupan sederhana keluarganya Abah, Emak, dan anak-anaknya. Dalam adaptasi film layar lebar kali ini semuanya ada, berikut Euis dan Ara, ditambah Ragil (di serial TV bernama Agil). Yah, ngebocorin plotnya deh. Tak apa-apa ya, toh bukan itu premis utama filmnya. Ya, tetap saja sih tujuan final premis filmnya kembali ke jargon di atas.
Dalam film, si Abah dikisahkan bekerja di usaha sektor konstruksi. Satu kejadian membuat si Abah jatuh miskin. Aset rumahnya disita. Abah sekeluarga pindah ke rumah warisan di Bogor. Keluarga Abah yang tadinya hidup lebih dari sekadar cukup, tiba-tiba melarat. Dalam keadaan miskin inilah Abah sekeluarga dituntut beradaptasi dan menghadapi kenyataan yang ada. Itulah ringkasan garis besar plot film ini. Yang menjadi keluhan utamaku cuma satu, yakni penyajian motif kejatuhan finansial si Abah secara tiba-tiba yang terasa sangat lemah bagiku: sangat kurang meyakinkan, menimbang persoalannya yang terlalu ceroboh untuk sebuah kejatuhan ekstrem.
Animasi awal film yang sesungguhnya menarik sekaligus menyegarkan sebetulnya sudah berhasil memikat hatiku, sampai-sampai saya membatin: “Ah, tanda-tanda film bagus nih.”
Sayangnya, premis dasar yang tidak meyakinkan di hati dan pikiran saya tadi meremukkan angan yang mulai membuai. Belum lagi ditambah beberapa subplot yang juga nggak kalah terasa semacam tempelan pemenuh durasi menjadikan film ini bermain di area ”pokoknya” yakni pokoknya gimana caranya pesan film bisa sampai ke jargon di atas tadi.
Untuk menuju ke jargon itu, saya pikir bangunan cerita utuhnya geronjalan, tak berjalan mulus. Ada semacam rasa frustrasi yang terpancar dalam menghadirkan sebuah konflik yang matang. Hasilnya, konflik demi konflik yang ada memanfaatkan urutan formula klise film-film keluarga.
Walau begitu, harus saya akui kalau ada beberapa adegan yang berhasil memancarkan aura jargon di atas tadi. Yang tentu potensial dan saya maklumi bisa membuat beberapa penontonnya terharu sesenggukan. Sayangnya beberapa titik adegan afektif ini macam bakal tetap efektif meski dijadikan film pendek saja karena sifatnya universal. Ingat iklan Tokopedia yang tentang ibu menabung uang untuk membelikan udang anaknya? Nah, momen mengharukan di film ini hadir bukan karena topangan alur plot,melainkan universalitas humanisme itu tadi.
Seandainya saja film ini menemukan premis tentang kejatuhan yang lebih meyakinkan. Untuk sebuah film keluarga dengan segmentasi usia segala umur, film ini (bolehlah) kumaklumi lumrah. Kalau untuk dewasa, film ini lungkah. (ila)
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.