DI HARI yang sama saya memilih dua film bertemakan senada, setelah sebelumnya menonton Beautiful Boy. Sekarang ceritanya tentang seorang bocah semata wayang yang sedang melihat perubahan sikap kedua orang tuanya semenjak sang ayah dipecat.
Latar tahun 1960 di Montana yang sepi dan kondisi ekonomi AS yang tak begitu stabil memperkuat kesan depresif konflik satu keluarga yang diangkat film hasil adaptasi novel ini.
Perspektif utama film ini dikuasai oleh si anak: seorang anak yang penurut, tak penuntut, dan bahagia ketika melihat kedua orang tuanya tersenyum. Inilah pemikat utama simpati terhadap plot film ini. Bagaimana bisa kita nggak bersimpati kepada karakter yang berperangai bai, sebab ia bukanlah sumber masalah, tapi sedang berada di tengah-tengah konflik orang tuanya yang tak cukup membuatnya mampu untuk berbuat apa-apa. Ia hanya bisa bertanya-tanya, menahan gejolak emosi yang membuncah, dan berharap semuanya akan berakhir baik-baik saja.
Inilah film debutnya Paul Dano. Satu debut yang membuat saya berharap Paul Dano cepat-cepat membuat film lagi. Yang paling saya puji dari film ini adalah pemilihan pemeran yang tepat. Lebih-lebih si bocah. Karakter kedua ortunya yang dibintangi Carrey Mulligan dan Jake Gyllenhaal pun makin membuat hati saya berinvestasi banyak ke plot filmnya.
Mungkin ada penonton yang merasa bahwa cerita film ini terlalu jauh (rekayasa dramatisasinya), namun bagi saya pribadi situasi dan kejadian yang terjadi dalam konflik rumah tangga film ini merupakan suatu realitas yang jarang tapi nyata adanya.
Sebetulnya saya merasa bersalah untuk meneruskan komentar selanjutnya karena cukup membocorkan konflik utama dalam film. Bagi yang tak ingin membacanya, tolong langsung abaikan saja.
Boleh saya bilang, meski tanpa pengadegan yang spesial film ini secara luar biasa betul-betul mampu menerjemahkan secara akurat momen keretakan rumah tangga yang sedang memuncak, saat-saat di mana salah satu pihak mengungkapkan ingin berpisah dari pasangannya. Bagiku terasa sangat nyata berkat adanya si bocah di tengah-tengah keduanya. Kita, paling tidak saya, sebagai penonton begitu hanyut terbawa dengan pedihnya hati saat menjadi saksi mata perpecahan orang tua. Dialah satu pihak dengan segala ketidakberdayaan yang sedang memikul harapan gelap.
Film ini memanifestasikan secara alami dan mendalam atas kerumitan emosi dalam konflik keluarga kecil yang sedang menghadapi masa kritis. Pilihan penyelesaian ceritanya adalah manis yang memilukan. Memang air tak sampai menetes di mataku, tapi di hatiku. Membuat saya perlu waktu untuk menyendiri sejenak. (ila)
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.