SLEMAN – Suasana Pendopo Krido Manunggal Budaya di Dusun Gadingan, Sinduharjo, Ngaglik penuh pembatik (20/1). Sebagian besar mengenakan baju adat. Ada Jawa, Papua, ada pula yang mengenakan batik.
Terlihat pula sekitar 50 warga negara asing (WNA). Mereka sibuk dengan kain, canting serta malam cair.
“Mereka sedang berlomba membuat batik,” ujar Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DIJ, Krismono, di sela Hari Bhakti Ke-69 Imigrasi.
Menurut Krismono, budaya Indonesia sangat kaya, contohnya batik. Tiap daerah memiliki corak dan motif sendiri-sendiri. “Lomba ini untuk mengenalkan batik dengan langsung praktik membuat batik,” kata Krismono.
Seluruh peserta lomba adalah WNA. Mereka berasal dari Asia, Eropa, dan Amerika. “Ada yang dari Belanda, Tiongkok, Pakistan, Republik Ceko, dan Vietnam. Beragam. Rata-rata mahasiswa ataupun tenaga kerja asing,” kata Krismono.
Sebagai apresiasi, pihaknya memberikan piagam kepada peserta. Karya peserta akan dipajang di Kantor Imigrasi Kelas I TPI DIJ. “Semoga WNA paham budaya Indonesia,” kata Krismono.
Seluruh proses membatik dilakukan dengan cara tradisional. Salah seorang peserta dari Vietnam, Le Ngoc Ai Nhung tertarik dengan batik. Perempuan 24 tahun yang akrab disapa Ainun itu mengatakan, tidak sulit untuk membatik.
Sebelumnya, Ainun pernah belajar membatik di tempatnya kuliah. “Sudah ada pengalaman. Yang penting tahu cara menggunakan canting,” ungkap Ainun, mahasiswa UNY.
Johana Moticakova, 25, dari Republik Ceko mengaku tertarik dengan motif-motif tradisional. Termasuk motif batik di Indonesia.
Kendati minder karena minim pengalaman, Johana bersemangat membatik. “Saya suka batik karena menggunakan bahan-bahan alami. Bisa digunakan terus menerus,” kata mahasiswa ISI itu. (har/iwa/fn)