JOGJA – Reuni menjadi sarana mengenang masa sekolah dulu. Itu pula yang dilakukan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, Busyro Muqodas dan Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far atau Ebiet G. Ade. Dalam pentas pagelaran seni ‘Indonesia Bersyukur Pesan Perdamaian’ yang digelar alumni SMA Muhammadiyah 1 atau Muhi Jogja.

ROTUN INAYAH, Jogja

Hujan deras yang mengguyur Jogja minggu malam (17/3) tak menyurutkan antusias alumni SMA Muhi Jogja dan masyarakat datang ke Plaza Serangan Oemoem 1 Maret. Momen langka saat Cak Nun dan Ebiet G. Ade bisa tampil satu panggung.

Ebiet G Ade mengatakan bahwa dirinya sudah sangat lama tidak bertemu sahabatnya itu. “Saya sulit bertemu Cak Nun mungkin karena pergerakan anginnya berbeda,” kata Ebiet yang alumni Muhi 1974 itu.

Kesempatan itu Ebiet melantunkan sebuah lagu yang liriknya diambilkan dari salah satu puisi karya Cak Nun. Meski pengunjung meminta untuk mereka berduet lagi, tapi karena jadwal rutin Macapat Syafaat di Kasihan Bantul, Cak Nun hanya hadir sekira 20 menit.

Tapi Cak Nun masih mengingat dan membayangkan tentang gedung sekolahnya dulu. Dinding kelasnya dulu masih terbuat dari gedhek. Iseng- gedhek itu pun dithithili, dicabuti dan dipatahkan satu demi satu  hingga bisa digunakan untuk nginjen pelajar putri saat memasuki halaman sekolah.

“Saya menyesal Muhi sekarang dibangun bagus. Zaman saya SMA, rok-e semene,” ujar Cak Nun sedikit mengangkat kakinya seraya menunjuk bagian di atas lutut.

Menurut alumni Muhi 1971 itu, dulu, seragam seperti itu hal biasa. Belum ada kerudung atau jilbab seperti para pelajar sekarang ini. “Karena jiwa kami waktu itu masih murni sehingga tidak terangsang. Saiki, nganggo jilbab rambute metu sithik wae, wah…..” ujarnya disambut tawa.

Suami Novia Kolopaking itu juga masih mengingat salah seorang yang paling dia takuti. Bahkan  sampai sekarang. Yaitu HM Syukri Fadholi, alumni Muhi angkatan 1970 yang pernah menjadi Wakil Wali Kota Jogja.

Saat mengisi sesi khusus bertema Bersyukur ala Cak Nun, Ia menyampaikan bersyukur tidak harus menunggu kaya. “Bersyukur ra sah ngenteni nduwe duit akeh. Tidak ada alasan untuk setiap detik selalu bersyukur,” paparnya.

Ia tidak setuju apabila rasa syukur harus berupa kegembiraan dan harta benda. Sebab ujian dan cobaan dari Allah SWT juga merupakan bentuk rasa syukur.

“Punya duit banyak bisa berarti hukuman, ujian atau peringatan. Alat bersyukur bisa apa saja,” tambah Cak Nun.

Pergelaran Seni Indonesia Bersyukur Pesan Perdamaian dari Muhi Jogja dibuka penampilan tari Saman oleh grup Tari Saman Musa Ratu. Grup yang diawaki para pelajar Muhi ini dua kali berturut-turut meraih kejuraan dunia pada event di Rusia dan Turki serta dijadwalkan Mei mendatang pentas di Italia. Penampilan OM Mawes juga menambah pergelaran seni kali ini menjadi lebih bermakna sebagai ajang bertemunya alumni Muhi dari semua angkatan. (pra/mg2)