JOGJA – Uang ganti rugi tanah bandara Kulonprogo Rp 701 miliar diketahui telah dikuasai Adipati Pakualaman KGPAA Paku Alam X. Uang tersebut disebut-sebut menjadi pemicu laporan ke Polda DIJ. PA X merasa khawatir uang Rp 701 miliar itu jatuh ke tangan Suwarsi dan kawan-kawan (dkk).

“Kami minta uang tersebut disita dan dijadikan bukti di persidangan. Kalau tidak uangnya yang disita, bisa buku rekeningnya,” ucap Penasihat Hukum Suwarsi dkk, Bambang Hadi Supriyanto SH di sela pembacaan pledoi (pembelaan) di Pengadilan Negeri (PN) Jogja, Selasa(9/4).

Bambang mengungkapkan telah lebih dari tiga kali mengajukan permohonan penyitaan kepada majelis hakim yang diketuai Asep Permana SH. Dasar pengajuan penyitaan itu karena uang Rp 701 miliar menjadi pendorong PA X memerkarakan kliennya. Bahkan sejak Februari lalu, Suwarsi dkk bersama penasihat hukumnya Prihananto telah ditahan. Mereka didakwa memalsukan dokumen asal usul dan surat keterangan camat Temon, Kulonprogo.

“Kekhawatiran PA X itu tidak terbukti. Faktanya uang sudah dicairkan PA X ,” lanjut Bambang.
Saat didengar menjadi saksi di sidang pada (5/3) lalu, PA X mengakui uang ganti rugi bandara telah dicairkan. Kini uang tersebut berada di bawah Kawedanan Danartapura (semacam kementerian keuangan) Kadipaten Pakualaman.

Pencairan diketahui terjadi saat perkara gugatan perdata atas kepemilikan tanah bandara itu belum punya kekuatan hukum tetap. “Perkaranya masih kasasi di Mahkamah Agung,” ucap advokat yang tinggal di Karanganyar, Surakarta ini.

Suwarsi dkk adalah ahli waris dari GKR Pembayun alias Pembayun alias Sekar Kedaton, putri raja Surakarta Susuhunan Paku Buwono X dengan GKR Hemas atau Gusti Raden Ajeng (GRAj) Moersoedarinah. GKR Hemas merupakan putri Sultan Hamengku Buwono VII dari Keraton Jogja.

Sebagai ahli waris Pembayun, Suwarsi memegang eigendom atau sertifikat hak milik No 674 verponding No 154 atas nama Moersoerdarinah di atas tanah seluas 1.200 hektare di empat desa di Kecamatan Temon, Kulonprogo. Kini sebagian tanah sengketa itu digunakan untuk bandara yang baru. Sertifikat hak milik tersebut diterbitkan kantor Notaris Hendrik Radien di Jogjakarta pada 19 Mei 1916.

Atas dasar memiliki eigendom itu Suwarsi dkk melalui Prihananto SH beberapa kali mengajukan gugatan perdata ke PN Wates dan PN Jogja. Pihak yang digugat adalah PA X. Sebab PA X juga mengklaim sebagai pemilik tanah tersebut. Statusnya Pakualamanaat Grond atau tanah kadipaten.
Belum lagi sengketa itu kelar, PA X melakukan serangan balik. Lewat

Penghageng Kawedanan Keprajan Kadipaten Pakualaman KPH Bayudono Suryoadinegoro melaporkan Suwarsi dkk secara pidana ke Polda DIJ. Asal usul Suwarsi dkk sebagai keturunan GKR Pembayun diragukan. Sedangkan Prihananto selaku penasihat hukumnya dilaporkan karena dugaan penggunaan surat dari camat Temon.

Sidang yang digelar sejak akhir Februari lalu digelar secara maraton seminggu dua kali. Setiap sidang berlangsung hingga malam hari. Ada 17 orang saksi dan ahli yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU). Salah satu saksi yang pernah didengar keterangannnya adalah PA X.

Dari sekian banyak saksi dari JPU itu, dua orang saksi yakni Denny Natawidjaya dan Bambang Suradi mencabut keterangan di berita acara pemeriksaan (BAP) di Polda DIJ. Keduanya beralasan keterangan yang ditulis penyidik di BAP tidak sesuai fakta yang mereka alami. “Kami cabut yang mulia,” ujar Haji Denny, sapaan akrabnya.

Terungkap dalam sidang itu, surat keterangan camat Temon yang ikut dijadikan bukti tambahan di sidang gugatan perdata oleh advokat Prihananto berasal dari Anwar Husin. Diketahui Anwar berprofesi sebagai pengacara.

Dia pernah mengajukan gugatan dalam perkara tanah bandara di PN Wates. Anwar beberapa kali diundang dalam sidang perkara Suwarsi dkk. “Tiga kali diundang tidak pernah datang. Kami sudah ajukan upaya paksa,” imbuh Bambang.

Di tempat sama, Arlen Purba SH, anggota tim penasihat hukum Suwarsi dkk sengaja menamakan pledoi bagi kliennya dengan tajuk Dapatkah Akta Otentik Dikalahkan oleh Surat Fotokopi.

Tajuk itu sengaja diajukan karena dalam pembuktian terungkap bukti yang diajukan oleh keluarga Munier Tjakraningrat yang juga mengaku sebagai keturunan Pembayun tidak ada bukti yang asli. “Semua bukti termasuk asal usul sebagai keturunan GKR Hemas atau GRAj Moersoedarinah hanya fotokopi,” beber Arlen.

Itu berbanding terbalik dengan bukti-bukti yang dimiliki kliennya. Suwarsi sebagai anak Pembayun dibuktikan dengan surat nazab nomor 127/D/III dari Raad Igama Surakarta atau Pengadilan Agama Surakarta 12 September 1943.

Di nazab itu, tertulis Pembayun merupakan anak Malikoel Kusno, nama kecil Paku Buwono X dengan GRAj Moersoedarinah yang nantinya bergelar GKR Hemas. Pembayun menikah dengan RM Wugu Harjo Sutirto dari Kadipaten Madura. Dari perkawinan itu melahirkan Gusti Raden Ayu Koessoewarsiyah alias Suwarsi.

Keaslian nazab itu di sidang dikuatkan dengan keterangan ahli Wildan Suhudi Mustofa. Mantan ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah itu menegaskan, Vonnis Raad Igama Surakarta Nomor 127/D/III Tahun 1943 adalah benar. Dia mengaku sering melihat dokumen seperti itu di Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.

Pledoi tim penasihat hukum Suwarsi dkk itu diajukan sebagai tanggapan atas tuntutan JPU Dandeni Herdiana SH yang mengajukan tuntutan secara bervariasi kepada sembilan terdakwa. Tuntutan berkisar antara 1,6 tahun hingga 2 tahun untuk terdakwa satu hingga delapan. Sedangkan terdakwa sembilan yakni advokat Prihananto dituntut 3 tahun. Rencananya hari ini, Rabu (10/4) sidang dilanjutkan dengan agenda replik dari JPU. (kus/zam/mg2)