BANTUL – Selama puluhan tahun, Slamet, 42, hidup di rumah yang tidak layak huni. Rumahnya berdinding bambu. Berlantai tanah. Tidak ada fasilitas mandi dan buang air. Lahannya pun milik tetangganya, Juman.
Rumah Slamet berukuran 8×4 meter. Kamar tidur jadi satu dengan dapur. Terlihat banyak jelaga di atap. Listrik tak ada. Hanya senthir yang jadi penerang saat malam.
“Mau gimana lagi? Saya terpaksa tinggal di sini. Tidak ada tempat lain,” ucap Slamet.
Dia hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya telah lama meninggal. Makan, dia mengandalkan tetangga dan pemerintah. Penghasilan warga Dusun Ngebel RT 08, Tamantirto, Kasihan, itu tidak menentu.
Penghasilan tergantung dari ada tidaknya tawaran pekerjaan. “Kerja di proyek pernah. Suruh metik kelapa saya sanggupi. Pekerjaan apapun saya ambil,” katanya.
Beberapa komunitas di Bantul pun tergerak memperbaiki rumah Slamet. Komunitas yang tergabung, Info Sedulur Pucung (ISP), Peduli Dhuafa, Berkah Bantul dan relawan warga sekitar.
Mereka gotong royong memperbaiki rumah Slamet. Diganti menjadi dinding batako dan lantai semen.
Ketua ISP, Ahmadi Geong mengatakan, rumah Slamet tidak layak huni. Atap rumah Slamet bolong-bolong, bocor jika hujan.
Dia bersama rekan komunitas lain patungan untuk memperbaiki rumah Slamet. Termasuk pengadaan kamar mandi. (cr5/iwa/fj/mg2)