BANTUL – Dewi Sri dan iring-iringan bergada, para petani Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Suka Tani, anak-anak sekolah Sanggar Anak Alam (Salam), Sekolah Akar Rumput, dan warga sekitar tampak berjalan melewati pematang sawah. Iring-iringan ini lantas menuju ke tengah-tengah areal persawahan untuk melakukan ritual wiwitan.
Di tengah persawahan, tampak seorang penari topeng mengawali ritual panen padi yang diadakan di Nitiprayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul ini. Penari Topeng Losari, Nani Sawitri, khusus datang untuk ikut merayakan pesta panen padi pertama di awal musim ini.
Ketua Panitia Wiwitan “Sangkan Paraning Pangan” Budi Widanarko mengungkapkan, acara yang diadakan dua tahun sekali ini merupakan wujud syukur atas limpahan berkah dari Tuhan. Tak hanya itu, ritual wiwitan ini juga sebagai wujud pembelajaran bagi anak-anak dan generasi muda untuk lebih menghargai alam raya yang sudah memberikan pangan untuk insan manusia.
”Paling spesial karena pada wiwitan kali ini, kami kedatangan penari Topeng Losari, Nani Sawitri. Beliau khusus hadir untuk mengawali ritual dan menarikan tarian topeng ini setelah 36 tahun tak dimainkan. Beliau merupakan keturunan ketujuh Keraton Losari dan sosok yang berkomitmen menjaga budayanya,” ujar Akok, sapaan akrab Budi Widanarko, ditemui di sela wiwitan, Selasa (23/4).
Akok menjelaskan, wiwitan atau Wiwit adalah tradisi turun temurun masyarakat Jawa, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas panen hasil bumi. Adapun tokoh Dewi Sri yang diperankan, merupakan perlambang atas dewi kesuburan.
”Perayaan Wiwitan atau pesta panen ini merupakan kerja bersama Salam, forum orang tua Salam (Forsalam) warga Nitiprayan, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Suka Tani dan didukung oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul,” jelasnya.
Rangkaian acara pesta panen Wiwitan ini akan dipungkasi pada 2 Mei 2019 dengan menggelar Pasar Pangan yang mengusung tema ”Makanan olahan lokal minim gandum tanpa pengawet, pemanis buatan, pewarna dan meminimalisir plastik”. ”Sebelumnya kami juga mengadakan workhsop
Pendiri Salam Toto Rahardjo menjelaskan secara batiniah, filosofi tradisi Wiwit adalah menjaga hubungan manusia dengan yang Maha Kuasa, sang pemberi kehidupan melalui kekayaan alam yang melimpah. Hal itu semestinya diolah dengan tata kelola yang benar. Sedangkan secara lahiriah wiwit diartikan sebagai penjaga ketahanan pangan melalui budidaya petani, dalam mengolah lahan pertaniannya. Sejatinya wiwit adalah mengambil padi yang sudah tua, untuk disimpan dan kelak digunakan sebagai benih di masa tanam yang akan datang. (ila)