FILM terbarunya Garin Nugroho kali ini terinspirasi dari kehidupan Rianto, penari-koreografer kelahiran Jawa Tengah yang sekarang berbasis di Jepang. Entah sebatas mana cerita nyata yang telah menginspirasi skripnya, namun film ini mengisahkan perjalanan hidup seseorang yang sedari masa kecilnya dipenuhi trauma sosio-politis.

Satu trauma kompleks yang telah membawanya berpindah-pindah (tinggal) dari satu desa ke desa lain, dari satu pengasuh ke pengasuh lain, dan mengantarkannya pada kecintaan pada (olah gerak) tubuhnya–yang maskulin sekaligus feminin.

Msh jarang kisah perjalanan yang memuaskan hasrat penonton film tiga babak. Pasalnya penonton selalu ingin ditawan dengan awal memikat, konflik memuncak, dan akhir terikat. Di film ini Garin pun tetap tak cukup memuaskan penonton seperti itu. Meski begitu, saya rasa film ini termasuk salah satu karya naratif dari Garin yang cukup nyaman dinikmati berkat narasi berfokus karakter utama yang cukup solid dan keseimbangan adegan simbolismenya yang tak terlampau sering dan berlarut-larut.

Beberapa teknik pengadegan yang digunakan pun cukup segar. Salah satunya dengan adegan-adegan breaking the fourth wall, dibawakan oleh Rianto sendiri, yang kuat. Di situ ia berfungsi sebagai narator sekaligus ilustrator dari kisah hidupnya sendiri lewat monolog dan tari teatrikalnya yang menawan.

Sebagai film yang juga mengangkat isu tentang identitas seksualitas, aura erotisme dalam film ini juga cukup sensual namun tak vulgar. Adegan pertama jari berdarah karena tertusuk peniti yang kemudian diulang pada adegan setelahnya menyiratkan makna asosiatif yang bebas.

Sayang saja dalam film ini Garin saya tangkap masih tetap menjejalkan banyak pesan dan pernik-pernik nostalgia yabg ia ingin sampaikan. Sampai-sampai ia butuh menampilkan satu babak komikal demi menjembatani salah satu adegan terkait fenomena spiritual dalam perang politik level pedesaan. Tak begitu menjadi soal, tetapi ada sedikit pengenduran intensitas drama intim yang telah terbangun di sana.

Film ini memang memotret perjalanan yang belum tuntas. Walau begitu, trauma dalam identitas termaginalisasi yang diangkat dalam film ini cukup mengesankanku. Mereka yang terpinggirkan itu sebenarnya sudah punya bekal persoalan pelik dalam dirinya sendiri. Lingkungan sosial yang terintervensi politik memperparah persoalan mereka. Film ini cukup indah dalam menjalin kompleksitas berkelindan itu. Salah satu film Indonesia unggulan di caturwulan pertama 2019. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara