JOGJA – Apem telah menjadi identitas masyarakat Jogjakarta. Untuk hajatan atau peringatan hari-hari tertentu. Terutama berkaitan dengan tradisi budaya peninggalan leluhur.
WINDA ATIKA IRA PUSPITA, Jogja
Tradisi apeman tak hanya dilakukan masyarakat biasa. Penganan dari tepung beras itu pun selalu ada pada acara-acara tertentu di Keraton Jogjakarta. Salah satunya dalam jumenengan (peringatan naik takhta) raja. Di Sleman, gunungan apem juga melegenda. Khususnya di Dusun Wonolelo, Widodomartani, Ngemplak. Di situ konon dulu menjadi tempat persinggahan Ki Ageng Wonolelo, seorang keturunan Prabu Brawijaya V yang menjadi penyebar agama Islam pada masa Kerajaan Mataram. Tradisi apeman dihelat setiap bulan Sapar (penanggalan Jawa). Sebagai sarana penyebarluasan agama Islam oleh Ki Ageng Wonolelo.
Kini Saparan Wonolelo menjadi adat yang dilanggengkan warga setempat secara turun-temurun. Lengkap dengan penyebaran apemnya.
Di Kota Joga juga ada tradisi apeman. Tepatnya di Kampung Gemblakan Bawah, Suryatmajan, Danurejan.
Pembuatan apem dilakukan secara masal. Untuk menyambut datangnya Ramadan. Karena dihelat saat bulan Ruwah (Syakban), maka acara itu dikenal dengan ruwahan.
Uniknya, proses pembuatan apem digelar di sepanjang bantaran Kali Code. Yang oleh warga setempat disebut Pedestrian Code Gumreget (PCG). Kawasan ini merupakan ruang terbuka hijau bantaran Kali Code.
“Kami ingin melestarikan tradisi ini bagi generasi muda. Agar tak kehilangan sejarah dari para leluhur,” tutur Adi Nur Widianto, koordinator kegiatan, di sela pembuatan apem masal, Minggu (28/4).
Selain demi menghormati warisan nenek moyang, apeman menjadi sarana mempererat tali silaturahmi antarwarga. “Sebagai sarana bermaaf-maafan karena mau puasa. Dari dulu ya seperti ini tradisinya. Kami tinggal mengikuti,” tambahnya.
Selama seharian kemarin Kampung Gemblakan Bawah pun tampak gayeng. Karena hampir seluruh warga dari 9 RT di 3 RW terlibat. Terutama kaum Hawa. Selain apem, ada pula ketan dan kolak. Tak kurang tiga ribu paket apem dibuat kemarin. Ketiga menu khas tradisional itu lantas di-packing rapi dalam kotak kardus putih. Lalu dibagikan bagi seluruh warga. Tiap kardus berisi 10 apem, 2 cup ketan, dan 2 cup kolak.
Itulah tradisi Ruwahan warga bantaran Kali Code.
“Di sinilah nanti ada kerinduan warga makan apem ruwahan. Karena ini hanya ada setiap setahun sekali,” ujar Adi.
Menurut Adi, adonan bahan dan rasa apem ruwahan ini berbeda dengan apem yang dijual di pasar.
Bahkan saat pembuatannya melibatkan empat spesialis pembuat adonan apem. Salah satunya Titik Asmara. “Cita rasanya jelas beda dengan apem yang dijual untuk mecari untung. Ini kan dimakan sendiri,” ungkapnya.
Apem ruwahan memang ditonjolkan kualitas rasanya. Selain lebih manis, juga lebih gurih jika dibanding apem pasar. “Apalagi kalau dimakan untuk besok (hari ini). Akan lebih enak, ” jelasnya.
Titik pun tak segan berbagi resep. Dia membuat adonan apem pada malam hari sebelum dicetak paginya. Menggunakan tepung beras 37 kg. Tiap 5 kg tepung dicampur telur, terigu, gula merah, gula pasir, dan pengembang kue. Tak lupa dibubuhi penyedap rasa sesuai selera. “Yang paling sulit saat mencetaknya. Supaya hasilnya bisa bulat sempurna,” kata Titik.
Ternyata benar. Hasil cetakan pun beragam. Tak semuanya benar-benar bulat. Apalagi acara membuat apem hanya setahun sekali. Sehingga tak semua tangan ibu-ibu yang terlibat secekatan Titik. (yog/rg)