BANTUL – Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) Rabu (1/5) menjadi momentum bagi pekerja sektor informal untuk menyampaikan aspirasi. Seperti disuarakan Jaringan Advokasi Melindundungi Pekerja Informal (JAMPI). Organisasi ini beranggotakan buruh gendong dan pekerja rumah tangga.

Mereka berorasi di sela pawai budaya. Berjalan kaki mengenakan pakaian adat Jawa sambil membentangkan spanduk bertuliskan tuntutan mereka.

“Hingga saat ini pemerintah belum memberikan pengakuan serta perlindungan yang layak bagi para pekerja rumah tangga dan buruh gendong,” ungkap Warsinah, koordinator aksi.

Menurutnya, hak pekerja informal belum terpenuhi lantaran pekerjaan mereka tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Perlindungan bagi pekerja informal, khususnya perempuan, juga masih lemah,” tambahnya.

Persoalan lain, masih banyak pekerja informal perempuan yang sering mengalami diskriminasi. Demikian pula soal fasilitas di sektor informal. Buruh gendong, misalnya. Warisah mengatakan, saat ini kondisi bangunan pasar-pasar tradisional belum bisa dikatakan aman bagi buruh gendong. Tangga yang curam dan lantai licin dinilai dapat membahayakan nyawa para buruh gendong.

“Buruh gendong juga masih belum mendapat jaminan kerja yang berpihak pada mereka,” bebernya.

Poin yang dimaksud adalah jaminan kesehatan atau kecelekaan kerja. Sejauh ini masih ditanggung sendiri oleh buruh gendong.

“Padahal upah mereka (buruh gendong) dapat dikatakan rendah dan tidak pasti,” katanya.

Warsinah berharap, momentum May Day kali ini bisa menggugah perhatian pemerintah, khususnya di DIJ. Agar lebih memerhatikan nasib buruh gendong dan pekerja rumah tangga. “Yang penting itu ada pengakuan dan perlindungan,” tegasnya.

Berbeda dengan JAMPI, para buruh gendong di Pasar Beringharjo, Kota Jogja seolah tak peduli dengan May Day. Saat para relawan menggelar aksi dan orasi tentang buruh di Titik Nol Kilometer, para buruh gendong Beringharjo pilih tetap mencari nafkah. Meski usia mereka tak lagi muda.

Radar Jogja sempat menemui tiga buruh gendong di los pakaian. Mereka adalah Sukijem, 60, Genah, 55, dan Walidah, 70. Ketiga perempuan itu ini berasal dari daerah yang sama, yakni Depok, Sentolo, Kulonprogo.

Setiap hari mereka harus menyiapkan ongkos sedikitnya Rp 45 ribu. Biaya perjalanan pulang pergi Rp 30 ribu. Dan Rp 15 ribu untuk makan.  sangu untuk makan Rp 15 ribu. Artinya, dalam sehari mereka harus dapat penghasilan minimal Rp 45. Jika kurang dari itu, maka harus nombok.

Sukijem mengatakan, upah buruh gendong tidak tentu. Pun tak ada acuannya. Bahkan tak jarang dia mendapat upah kurang rai Rp 5 ribu untuk sekali menjual jasa gendong. Itu lantaran besaran upah bergantung pada niat si pengguna jasa. “Tarif seikhlasnya. Tiap orang memberi beda-beda, berapa pun bobotnya,” ungkap Sukijem.

“Di los pakaian tergolong sepi. Saat ramai saja tak sampai dapat Rp 50 ribu,” tambahnya.

Genah, sejawat Sukijem, mengaku beruntung telah terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sehingga saat sakit dia tak perlu merogoh saku untuk membayar jasa dokter.

“Biasanya boyoken, otot, kaki pegal, dan pusing. Semuanya karena faktor usia. Tambah lagi pandangan mulai kabur dan pendengaran sedikit berkurang,” ungkapnya.

Walidah tak seberuntung Genah. Perempuan sepuh ini tidak memiliki jaminan sosial. Mau tidak mau dia harus membaayar ongkos dokter ketika berobat. (cr5/dwi/yog/er)