JOGJA – Auilansyah Rizki Teknikade adalah aset kebanggaan Jogjakarta. Terlebih setelah siswa SMAN 1 Jogja itu berhasil meraih nilai tertinggi ujian nasional (unas) tahun ini. Berikut kisah dan cita-citanya yang diungkapkan kepada Radar Jogja.

 

DWI AGUS, Jogja

Cerdas dan mudah berbaur. Itulah kesan awal yang tampak pada sosok Auliansyah Rizki Teknikade. Usianya baru 17 tahun. Wawasannya luas. Langkah hidupnya terencana. Mulai sekolah, kuliah, hingga cita-citanya.

Jumat (10/5) lalu Radar Jogja menemui Rizki di Perpustakaan Kota Jogja. Untuk mengulik pengalamannya mengerjakan soal-soal unas. Yang semua warga Jogjakarta sudah tahu. Rizki adalah peraih nilai tertinggi jurusan IPA. Dia meraih nilai sempurna untuk tiga pelajaran. Matematika, bahasa Inggris, dan fisika. Ketiga-tiganya mendapat nilai 100. Hanya bahasa Indonesia nilainya 96. Nyaris sempurna.

Tak ada hambatan berarti dialami sulung dua bersaudara itu.

“Ujian bahasa Indonesia itu rumit. Harus konsentrasi penuh. Karena antara pilihan jawaban A, B,C,D, dan E itu bagus tapi belum tentu benar. Jadi bisa terjebak dan salah pilih,” ungkapnya.

Siswa pada umumnya akan mati-matian menghapal rumus-rumus . Juga hapalan-hapalan lain. Namun tidak demikian yang dilakukan Rizki. Dia membagi porsi belajarnya secara merata. Kualitas belajar menjadi hal paling utama.  Itulah kiat putra pasangan Cholis Aunurohman dan Yusnita Ritonga untuk menghadapi unas.

Rizki tak mau ngoyo saat belajar. Tidak pula memaksakan diri. Dia tetap bergaul dengan teman sebaya. Umumnya anak-anak zaman now.

Bagi Rizki, terlalu memaksakan belajar justru akan menimbulkan perasaan tertekan dan stres.

“Sebenarnya saya tidak terlalu hobi belajar. Have fun dan mengalir saja tapi kualitas tetap dijaga,” katanya. “Keseharian main dengan teman,

berorganisasi, dan nongkrong juga dengan teman-teman. Semua harus seimbang,” tambah remaja berkaca mata ini.

Metode yang Rizki jalani sesuai pesan kedua orang tua. Harus ada keseimbangan dalam menjalani rutinitas harian. Sebagai seorang siswa memang wajib menimba ilmu. Namun, di satu sisi bukan berarti bersosialisasi jadi ternafikan.

“Orang tua titip pesan agar sekolah tidak hanya belajar. Tapi juga cari pengalaman. Bisa dari organisasi atau lingkungan pertemanan. Percuma pintar tapi tidak punya teman,” tutur alumnus SMPN 5 Jogja.

Dari situlah Rizki sangat memahami makna belajar. Pun saat menghadapi unas SMA. Rizki masih menyimpan jurus lain untuk sukses unas. Dia selalu memastikan perutnya kenyang sebelum berangkat ke sekolah. Saat kondisi perut cukup, maka dijamin bisa berpikir secara jernih dan fokus.

Dia lantas mengilustrasikan saat ujian bahasa Indonesia. Yang membutuhkan konsetrasi penuh. Karena setiap jawaban hampir sama satu sama lain. “Kalau perut kita kosong tentu tidak berpikir dengan jernih. Jadi sarapan adalah kunci lainnya,” candanya degan mimik serius.

Lantas bagimana dengan jenjang pendidikan selanjutnya? Rizki ternyata telah memiliki tiket. Dia telah resmi menjadi calon mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Lewat jalur undangan. Masuk jurusan teknik industri.

Ihwal memilih ITS, alumnus SD Muhammadiyah Sukonandi ini memiliki jawaban brilian. Awalnya dia memang tertarik mendaftar di Teknik Industri Universitas Gadjah Mada. Namun, dia meyakini persaingan merebutkan kursi di perguruan tinggi tersebut tidaklah mudah. Apalagi tak sedikit teman sekolahnya yang juga mendaftar di UGM. Belum lagi siswa dari sekolah lain.

“Saya juga tidak mau ngotot. Maka cari yang pasti saja dan akhirnya diterima di ITS. Ini bukan berarti saingan ke sana (ITS, Red) tidak berat lho, tapi agak longgar saja,” katanya.

Pilihannya melanjutkan pendidikan di ITS bukan tanpa hambatan. Ayahnya yang berprofesi sebagai konsultan keuangan punya pandangan berbeda. Terlebih sang ibu, yang bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Tinggi DIJ.

Alih-alih mematuhi keinginan orang tua masuk jurusan akutansi, Rizki memilih jalan lain. Dia berpikir, keinginan orang tua belum tentu sesuai minat dan bakatnya. Jika dipaksakan, dia akan setengah hati menjalani pilihan itu.

“Akutansi karena katanya cari kerjanya gampang. Tapi saya yakin dan tetap bertahan di teknik industri. Sudah sesuai minat dan hobi saya,” ujarnya.

Belakangan kedua orang tuanya berubah pikiran. Balik mendukung pilihan Rizki.  Yang sesuai cita-cita sang anak.

Cita-citanya sangat besar. Dia ingin membangun perusahaan besar di Indonesia. Untuk menyerap banyak tenaga kerja lokal. Lalu sebagian keuntungan perusahan dialokasikan bagi warga kurang mampu. ”Pastinya perusahaan ini dalam bidang perindustrian,” kata Rizki bersemangat.

Selain cita-citanya yang sangat besar, mimpinya juga begitu besar. Menjadi gubernur atau bupati. Jika ada kesempatan kelak.

“Tapi kata orang tua tidak usah saja (terjun ke politik, Red),” candanya.

Satu lagi prinsip yang dipegang Rizki dari pesan orang tuanya. Untuk tidak menjadi individu yang cepat puas. Menjadikan ilmu sebagai sebuah kebutuhan hidup. Ditambah pengalaman sebagai pegangan dalam menjalani tantangan kehidupan. Tak lupa dia berpesan kepada sejawatnya. “Jangan pelit berbagi ilmu dengan teman. Karena kita hidup sebagai makhluk sosial,” tuturnya. (yog/zl)