SLEMAN – Kasus pungutan liar (pungli) di kawasan wisata lava tour Merapi menjadi pukulan telak bagi pemerintah. Sebab, kasus itu ternyata pengulangan dari yang pernah terjadi pada 2017 silam.
Kepala Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman Suyatmi membenarkan hal tersebut. Dia mengaku, pada tahun itu juga pemerintah desa telah memagarinya dengan peraturan. Agar praktik pungli tak terulang.
Faktanya, kasus kembali terjadi. Wisatawan dipalak antara Rp 30 ribu hingga Rp 150 ribu. Hanya sekadar untuk diantar oleh pelaku ke area parkir objek wisata yang dituju.
Suyatmi tak menampik lemahnya pengawasan, yang berujung terulang kembali kasus pungli. Dia berdalih, jarak antara Balai Desa Umbulharjo dengan lokasi pungli terlalu jauh. Itu yang menyebabkan tak semua kejadian bisa terpantau perangkat desa terkait. Karena itu dia menyerahkan fungsi pengawasan kepada masyarakat.
“Terserah di masyarakat. Jadinya saling mengawasi dan saling mengingatkan,” katanya Rabu (12/6).
Sebagaimana diketahui, Hilmi, wisatawan asal Magelang, mengeluh dicegat oleh pelaku saat melintas di jalur menuju kawasan Kaliadem Senin (10/6). Dia kemudian diminta membayar biaya tambahan Rp 30 ribu. Pelaku menyodorinya karcis tanpa porporasi maupun cap resmi lembaga pemerintah. Padahal retribusi masuk kawasan lava tour Merapi ditetapkan hanya Rp 2 ribu pada hari biasa. Atau Rp 3 ribu saat musim liburan.
Mengenai hal tersebut Suyatmi mengaku tak bisa menindak pelaku. Alasannya, bukan tupoksi pemerintah desa. Pemdes, menurutnya, hanya bisa mengingatkan pelaku.
“Tapi berulang kali ketika ada kejadian seperti itu kami selalu koordinasi dengan instansi terkait. Desa hanya mengingatkan. Kalau penindakan itu ada tugasnya sendiri,” beber Suyatmi tanpa menyebut instansi yang dimaksud.
Keberadaa peraturan desa, lanjut dia, sebagai salah satu upaya untuk melindungi masyarakat yang menggantungkan ekonomi pada sektor pariwisata. Pun demikian dengan wisatawan yang berkunjung. Agar merasa aman dan nyaman saat berwisata di lava tour Merapi. “Jangan disalahgunakan,” pintanya.
Suyatmi memastikan, pelaku pungli yang menganggap perdes sebagai dasar hukum adalah tindakan keliru. Sebab, perdes tersebut tidak menyebut klausul adanya retribusi tambahan. Pasalnya dari sekian banyak aturan yang termuat dalam Perdes, baru satu aturan yang diterapkan.
Itu pun sejauh ini hanya satu klausul dalam perdes yang telah diberlakukan. Yakni tentang batas akhir kendaraan pengunjung.
Atas dasar hal tersebut, Suyatmi menyimpulkan bahwa karcis retribusi selain yang diterbitkan Dinas Pariwisata Sleman adalah tidak resmi. “Saya belum cek dan belum koordinasi lebih lanjut. Tapi itu tidak resmi dan kami tidak menerbitkan retribusi itu,” tegasnya.
Kendati demikian, Suyatmi enggan menyebut pelaku pungli sebagai oknum. Walaupun jika ada yang melanggar regulasi biasanya disebut oknum. “Tapi kalau masyarakat, saya tidak mau dibilang oknum,” ucapnya.
Di sisi lain, Suyatmi justru menyayangkan sikap wisatawan yang langsung mengunggah keluhan soal pungli melalui media sosial. Dengan begitu, masalah menjadi meluas. Padahal, menurut dia, hal seperti itu bisa diselesaikan secara baik-baik. Dia juga menduga ada salah paham antara wisatawan dan pelaku pariwisata di Merapi. Sehingga wisatawan merasa tidak nyaman.
“Posting boleh karena ini era modern. Tapi kalau posting itu kebenarannya belum tervalidasi. Yang sudah fix,” tuturnya.
Ibarat negosiasi, Suyatmi mengaku belum menerima penjelasan dari warganya terkait praktik pungli.
Anggota DPRD Sleman Yani Fathu Rahman turut menyesalkan adanya praktik pungli di kawasan wisata. Untuk mencegah hal itu, kata Yani, pengawasan terhadap para pelaku wisata harus komprehensif. Artinya, dinas terkait juga harus intensif dalam pendampingan di lapangan. “Tidak hanya instruksi. Dinas juga masuk dan ikut terlibat. Supaya nantinya ada pembinaan yang sistematis,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal Cangkringan itu.
Yani berjanji segera akan turun ke lapangan untuk mengklarifikasi dan mendalami kasus pungli lava tour Merapi dari pengelola setempat. Sekaligus untuk mencari solusi. Agar antara pelaku pariwisata dengan wisatawan tidak saling merasa dirugikan. “Nanti akan kami cari tahu sebenarnya. Itu dipaksa atau seperti apa,” ujarnya.
Lebih lanjut Yani mengingatkan semua pihak bahwa sektor pariwisata sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Jika sektor wisata berkembang akan berdampak baik pada masalah kemiskinan. Khususnya bagi masyarakat desa setempat.(har/yog/rg)