JOGJA – Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2) Dinas Kesehatan DIJ Berty Murtinginsih mengungkapkan kasus meninggal dunia akibat HIV bukan pertama kali. Jogjakarta, lanjutnya, pernah ada kasus serupa. Hanya saja saat itu korban meninggal dalam perawatan rumah sakit.
Terkait kasus Hendra, jajarannya belum menerima laporan. Hanya saja dia memastikan penanganan sudah dilakukan oleh tingkat Puskesmad Gondomanan. Selanjutnya laporan baru diteruskan ke Dinkes Kota Jogja dan Dinkes DIJ.
“Ya pernah (kasus meninggal akibat HIV), tapi pencatatan penyebab kematian karena HIV yang khusus tidak ada. Itupun dalam masa perawatan rumah sakit,” katanya ditemui di Kantor Dinkes DIJ kemarin (13/6).
Berdasarkan data Dinkes DIJ jumlah penderita HIV maupun HIV/AIDS terus meningkat. Setidaknya rentang 1993 hingga 2018 tercatat ada 4.781 kasus.
Sebanyak 1.647 di antaranya positif HIV/AIDS. Jumlah ini adalah kumulatif setiap tahunnya. Angkanya juga tidak bisa berkurang. Alasannya HIV selalu dalam masa pengobatan. Artinya pengobatan masih terus berlangsung sepanjang hidupnya.
“Data kumulatif terus berjalan. Bagi kami angka semakin bertambah itu justru bagus karena pemetaan optimal. Kasus HIV dan HIV/AIDS ini justru seperti fenomena gunung es, yang terlihat hanya permukaan saja,” ujarnya.
Data Dinkes DIJ menunjukkan pula temuan tertinggi berada di Kota Jogja. Di ibu kota DIJ itu terdapat 1.212 HIV dan 274 HIV/AIDS. Menyusul kemudian Sleman dengan 1.119 kasus HIV dan 369 HIV/AIDS. Bantul dengan 1.064 HIV dan 362 HIV/AIDS. Gunungkidul dengan 369 HIV dan 230 HIV/AIDS. Sementara Kulonprogo tercatat 265 HIV dan 86 kasus HIV/AIDS.
Jika dilihat usia, rentang usia 20 hingga 29 menduduki peringkat pertama dengan 1.497 HIV dan 425 HIV/AIDS. Sementara untuk profesi didominasi oleh wiraswasta. Untuk penularan, sebanyak 2.702 kasus melalui hubungan heteroseksual. Sementara penularan kasus homoseksual mencapai 822 kasus.
“Adapula melalui narkotik suntik atau bergantian jarum suntik sebanyak 273 kasus dan biseksual sebanyak 90 kasus. Dari data ini terlihat bahwa penularan didominasi hubungan seks bebas,” katanya.
Diakuinya belum ada obat untuk menyembuhkan HIV. Hanya saja ada antiretroviral (ARV) yang dapat memperlambat perkembangbiakan virus. Obat ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri.
“Selain itu juga mencegah virus HIV menghancurkan sel protein di sel kekebalan tubuh atau darah putih. Tapi harus rutin untuk menghambat atau setidaknya menekan agar HIV tidak meningkat jadi HIV/AIDS. ARV ini bisa didapatkan gratis di sejumlah puskesmas dan rumah sakit di Jogjakarta,” ujarnya.
Catatan kasus, HIV merupakan gerbang utama. Melemahnya sistem imun menjadi sasaran empuk bagi sejumlah penyakit. Berty menuturkan mayoritas penderita HIV/AIDS meninggal akibat tubercolosis. Penyababnya sistem kekebalan tubuh tidak optimal melawan penyakit.
“Itulah mengapa kami mendorong screening dan pemeriksaan lebih dini. Sayangnya untuk pasangan pra nikah belum ada. Padahal ini penting untuk mencegah penularan ke bayi yang dikandungnya,” pesannya. (dwi/pra/fj)