SLEMAN – Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2019 menuai kritik banyak pihak. Terutama tentang aturan jarak antara domisili siswa dengan sekolah. Hal itu menimbulkan stigma bahwa jarak rumah siswa dengan sekolah lebih penting dibanding nilai atau prestasi yang harus diraih. Sebab, siswa yang berdomisili di dekat sekolah “wajib” diterima. Sebagaimana amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB.

Peneliti literasi dan pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta Roni K. Pratama mengungkapkan, kondisi itu membuat para orang tua siswa ketar-ketir. Sebab, seberapa pun kecerdasan akademik anak jika jarak rumah dengan sekolah impiannya jauh, maka hal itu akan sangat sulit terwujud. Sehingga anak tersebut harus rela bersekolah di lokasi yang dekat dengan domisilinya. Meski si anak tak begitu minat. Demikian pula sebaliknya. Peserta didik berlatar belakang akademik yang “mengkhawatirkan” justru punya peluang lebih besar untuk diterima di sekolah favorit. Asal rumahnya dekat dengan sekolah terkait. Alias masuk zona sekolah tersebut.

Melihat kondisi itu Roni khawatir jika pada akhirnya sistem zonasi semata-mata hanya berorientasi jarak terdekat. Antara rumah siswa dengan sekolah. Karena radius menjadi pertimbangan utama pemilihan sekolah. “Maksud sistem ini sesungguhnya baik karena ingin menyetip stereotipe dikotomi sekolah ‘unggulan’ dan sekolah ‘pinggiran’,” ungkapnya Kamis (20/6).

Kendati demikian, Roni menilai pemerintah terlalu tergesa-gesa dalam menerapkan kebijakan. Dengan memukul rata keadaan. Di sisi lain Roni melihat masih banyak hal yang harus diperbaiki. Terutama kualitas sekolah dan pendidik. “Seharusnya kualitas sekolah diperbaiki sekaligus diperkokoh terlebih dahulu. Baik sarana maupun prasarananya, secara sistematis dan komprehensif,” kritik Roni.

Roni memandang penerapan sistem zonasi sekolah tampak sebagai kebijakan kurang matang. Orientasinya masih ‘ganjil’ diterapkan di tengah kondisi kualitas sekolah yang beraneka rupa.

“Zonasi, menurut saya, perlu dibarengi terlebih dahulu dengan kesungguhan perbaikan kualitas akademik secara total agar gap di antara sekolah terhapus,” usulnya.

Masih adanya gap kualitas akademik tiap-tiap sekolah itulah yang menyebabkan penerapan sistem zonasi saat ini tak bisa optimal. Wacana penyetaraan kualitas dan mutu sekolah pun masih jauh panggang dari api.

Kekhawatiran soal jarak zonasi dialami Diyah Ayu, salah satu orang tua siswa di Sleman. Diyah merasa gamang seandainya anaknya tak diterima di sekolah yang dikehendaki. Lantaran jarak rumahnya cukup jauh dari sekolah terkait. Walaupun ada sekolah negeri yang dekat rumah, menurut Diyah, kualitasnya tidak terlalu baik.

“Kalau tidak bisa ke negeri ya terpaksa ke swasta walaupun biaya yang dikeluarkan juga cukup banyak,” katanya.

Terpisah, Kepala Sekolah SMPN 4 Depok Lilik Mardiningsih menyatakan, pendidikan bukan hanya milik mereka yang punya uang dan yang pintar. Sebab, konsep pendidikan adalah untuk mencerdaskan anak. “Semua punya hak yang sama,” tegasnya.

Lilik punya pandangan lain terkait sistem zonasi. Menurutnya, anak dengan nilai rendah yang diterima di sekolah dekat rumah tidak akan mengubah kualitas sekolah tersebut. “Setidaknya bisa dilihat tiga tahun ke depan. Apakah ada penurunan prestasi atau tidak. Kalau ada penurunan harus ada evaluasi,” ujar Lilik. “Kalau memang seperti itu berarti pelayanan kepada anak yang tidak benar,” tambahnya.

Lilik mengaku paham dengan kekhawatiran orang tua siswa terkait sistem zonasi. Ihwal anak berprestasi yang justru tidak bisa masuk sekolah unggulan. Dia melihat sejauh ini kualitas pendidikan di Sleman sudah mulai merata. Sehingga, sekolah dimana pun juga tidak menjadi masalah. (har/yog/rg)