GUNUNGKIDUL – Geliat desa wisata di Gunungkidul mulai terasa sejak lima enam tahun terakhir. Namun, amat disayangkan, dalam perkembangannya ada sejumlah desa wisata dirundung konflik. Terbelit bebagai persoalan. Akibatnya, kenyamanan para pelancong terganggu.
Ketua Unit Wisata Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bejiharjo di Kecamatan Karangmojo Murni Kurniawati tak menampik terjadi penurunan pengunjung selama priode 2018 hingga Mei 2019. Dia juga mengatakan, pendapatan pun ikut menurun.
Pada 2018, tercatat ada 206.487 pengunjung. ”Sementara tahun ini hingga Mei, sebanyak 98.285 pengunjung,” kata Murni saat dihubungi Jumat (21/6).
Anjloknya jumlah kunjungan dibenarkan oleh Ketua BUMDes Bejiharjo Saryanto. Penurunan pengunjung tak terelakkan.
Dia menegaskan, BUMDes bekerja sama dengan sebelas kelompok pengelola wisata. Tiket masuk ke masing-masing pemilik jasa wisata diseragamkan Rp 40 ribu.
”Jika ada bukti menurunkan atau menaikkan harga, sanksinya berat. Mulai dari peringatan hingga pemutusan hubungan kontrak kerja sama,” kata Saryanto.
Ternyata, ada kelompok pengelola yang pernah kena sanksi. Waktu itu, salah satu kelompok pengelola menyalahi standar layanan. Dalam sekali layanan, pemandu terlalu banyak membaya pengunjung hingga lebih dari 20 orang.
”Kembali kepada penurunan jumlah pengunjung, kami terus berkoordinasi dengan seluruh kelompok pengelola wisata. Sharing bagaimana memunculkan sesuatu yang baru,” ujarnya.
Dia menduga anjloknya kunjungan wisata dipengaruhi faktor kebosanan. Terutama, pengunjung perorangan dan bukan rombongan. Biasanya mereka datang berkunjung dua sampai tiga kali. Tapi, tidak kembali lagi.
”Ya itu tadi, ada faktor kebosanan pada pengunjung perorangan,” ucapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Gunungkidul Asti Wijayanti mengungkapkan, ada sejumlah masalah yang muncul dalam pengelolaan wisata. Selain di Gua Pindul, konflik pengelolaan wisata yang melibatkan masyarakat juga terjadi di destinasi lain seperti Puncak Gunung Gentong di Gedangsari, Watugupit di Purwosari, dan Pantai Gesing di Panggang.
”Konflik muncul karena adanya tarik ulur dalam pengelolaan,” katanya.
Asti menjelaskan, permasalahan yang ada tersebut mengindikasikan adanya sikap dari masyarakat yang belum siap dalam upaya pengembangan sektor kepariwisataan. Contohnya, ada kecenderungan masyarakat untuk menguasai destinasi wisata.
”Saat ini kami berkomitmen untuk menyelesaikan konflik antarpengelola. Sebab, jika konflik terus dibiarkan merugikan semua pihak,” ujarnya.
Asti meminta para pegiat desa wisata mencontoh pengelola Gunung Api Purba Nglanggeran. Seluruh masyarakat bisa berpartisipasi dalam pengembangan. Di tempat tersebut nyaris tidak ada konflik yang muncul ke permukaan.
Sebelumnya, Bupati Gunungkidul Badingah mengaku sedang konsentrasi mempromosikan pariwisata dalam skala yang lebih besar lagi. Promosi juga menyangkut infrastruktur dengan membenahi jalan, jembatan, fasilitas air, dan listrik.
”Tidak kalah penting, bagaimana penyelesaian Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS). Kemudian, keberadaan Jembatan Sembada Handayani, bagaimana pemerintah Kabupaten Sleman mau mendukung dengan perluasan jalan sehingga mempermudah akses ke Kabupaten Gunungkidul,” kata Badingah. (gun/amd/zl)