GUNUNGKIDUL – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIJ melemparkan bola panas. Lembaga pengawas pelayanan publik ini menganggap penerimaan siswa baru masih rawan pungutan liar (pungli). Meski, DIJ telah memiliki Perda Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan. Sebab, regulasi yang menjadi turunan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional itu masih menyisakan banyak celah.
Kepala ORI Perwakilan DIJ Budhi Masthuri mencontohkan aturan mengenai unit cost setiap sekolah. Berdasar ketentuan yang diatur perda ini, sekolah bisa menghitung biaya pendidikan siswa setiap tahunnya. Namun, praktiknya sekolah juga menjadikan ketentuan itu sebagai ”senjata” untuk menentukan besaran partisipasi masyarakat yang diperlukan.
”Sebaiknya (ketentuan unit cost, Red) memang direvisi karena belum efektif,” tegas Budhi di kantornya Senin (24/6).
Contoh celah lain adalah sumbangan sukarela. Menurutnya, perda tidak mengatur teknis sumbangan sukarela. Sehingga, sumbangan sukarela justru terkesan menjadi kewajiban bagi orang tua. Itu diperparah dengan banyaknya orang tua yang ingin fasilitas sekolah anaknya ditambah. Agar kualitas pendidikan anaknya kian terjamin.
Selain itu, Budhi menilai, guru honorer juga turut menyumbang praktik pungli. Sekolah terpaksa mengangkat honorer lantaran penempatan guru berstatus aparatur sipil negara belum merata.
”Beban anggaran (gaji guru honorer, Red) tidak bisa diambilkan dari BOS (bantuan operasional sekolah) maupun bosda (bantuan operasional sekolah daerah), sehingga munculah pungutan,” katanya.
Berdasar catatan ORI, praktik pungli didominasi sekolah negeri. Padahal, sekolah negeri telah mendapatkan alokasi anggaran yang lumayan besar dari pemerintah. Pada tahun 2017, contohnya, pemprov mengalokasikan anggaran Rp 918 miliar untuk pendidikan.
Dari penelusuran Radar Jogja, beberapa SMA negeri di Kota Jogja berkeyakinan bahwa pungli berbeda dengan sumbangan sukarela. Jadi, tidak sedikit SMA negeri yang masih menerima sumbangan sukarela. Salah satunya SMAN 1 Jogja.
”Memang benar tidak boleh melakukan pungli. Tapi, berbeda kalau itu berupa sumbangan sukarela,” jelas Kepala Sekolah SMAN 1 Jogja Miftakodin.
Miftakodin menekankan, sumbangan sukarela memiliki payung hukum. Yakni, keputusan komite sekolah. Di mana kedudukannya telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, dan Kebudayan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Dalam regulasi ini disebutkan bahwa anggota komite adalah orang tua siswa, komunitas sekolah, dan tokoh masyarakat.
Di satu sisi, Miftakodin beralasan sumbangan sukarela tidak unsur pemaksaan. Toh, penggunaannya untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
”Contohnya, ada kelas yang kotor kemudian dibersihkan. Bisa juga berupa kebutuhan anak-anak berkaitan dengan sarana dan prasarana,” ujarnya.
Waka Humas SMAN 3 Jogja Agus Santosa mengungkapkan hal senada. Menurutnya, praktik di lingkungan SMA di DIJ adalah sumbangan sukarela. Bukan pungli.
”Secara legal itu sah. Kan tidak ada paksaan,” dalihnya.
Praktiknya, sekolah memberikan lembar formulir kepada orang tua. Orang tua bebas mengisi kolom besaran sumbangan. Sesuai dengan kemampuannya.
Agus beralasan sumbangan digunakan untuk biaya operasional dan investasi sekolah. Di mana sekolah tidak sanggup mengkavernya dengan BOS atau bosda.
”Karena kegiatan di SMAN 3 banyak sekali, sehingga dana yang ada dari pemerintah itu terus terang tidak mencukupi,” tuturnya.
Berbeda dengan SMAN 3, SMPN 5 Jogja menerapkan kebijakan sumbangan sukarela berupa hibah barang. Bukan uang.
Kepala Sekolah SMPN 5 Jogja Nuryani Agustina memastikan BOS dan bosda mampu membiayai seluruh kebutuhan operasional sekolah. Besaran BOS, misalnya, setiap siswa menerima Rp 1,750.000. Sedangkan besaran bosda Rp 1 juta per siswa.
”Jika anggaran pembangunan terbatas, kami mengajukan bantuan kepada pemerintah,” tambahnya.
Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIJ Isti Triasih membenarkan bahwa Perda Nomor 10 Tahun 2013 masih menyisakan banyak celah. Kendati begitu, Isti menekankan, Kepala Disdikpora Kadarmanta Baskara Aji DIJ telah mengeluarkan surat edaran (SE). SE yang diteken 4 Januari 2018 ini mengatur tentang larangan pungutan.
Persoalannya, SE ini hanya menyasar sekolah menengah atas dan sederajat. Dengan begitu, celah pungli masih terjadi di tingkat pendidikan dasar dan pertama.
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kota Jogja Budi Santoso Asrori tak menampik bahwa praktik pungli di tingkat pendidikan dasar dan pertama masih rawan. Dari itu, Budi mengaku telah melakukan sejumlah langkah antisipasi. Di antaranya dengan meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar dan mengawasi penyaluran dana pendidikan.
”GTT (guru tidak tetap) dan PTT (pegawai tidak tetap) dibiayai APBD sudah cukup. Tapi kalau ada laporan (pungli, Red) ya kami konfirmasi dan tindaklanjuti,” tegasnya. (dwi/cr15/zam/fj)