SLEMAN – Kasus dugaan pidana pemilu yang mengakibatkan bergesernya perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masuk ke ranah persidangan. Senin (8/7), Pengadilan Negeri (PN) Sleman melakukan sidang pertama.
Agendanya, pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Serta pembuktian dengan menghadirkan tiga saksi. Yaitu dari Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sleman Trapsi Haryadi, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sleman Ibnu Darpito dan Saksi PPP saat rekapitulasi suara, Agus.
Sedangkan terdakwa, Anita Ratna Dewi, 24 tahun, in absentia. Dia tidak hadir dalam sidang. Anita menghindar sejak Mei 2019. Secara regulasi, proses sidang tindak pidana pemilu bisa dilakukan tanpa harus dihadiri terdakwa. Atau in absentia.
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung 1/2018 Pasal 3 ayat 3, tentang tata cara penyelesaian tindak pidana pemilu dan Pasal 482 ayat 1 UU 7/2017 dimana untuk perkara pemilu terdakwa dapat diperiksa atau diadili tanpa kehadiran terdakwa dalam persidangan.
Kendati sidang in absentia, Ketua Majelis Hakim Suparna tetap mempertanyakan keberadaan terdakwa. Sebab, JPU memiliki kewajiban menghadirkan terdakwa saat persidangan. “Apa sudah dilakukan upaya penjemputan?” tanya Suparna (8/7).
JPU M. Ismet Karnawan menjawab jika telah berulang kali memanggil terdakwa. Termasuk dengan upaya penjemputan paksa.
“Kami lampirkan keterangan dari ketua RW tempat terdakwa tinggal dan dari penyidik sudah diterbitkan DPO (daftar pencarian orang) sebagai bukti upaya kami menghadirkan terdakwa,” jawab Ismet.
Usai sidang, Ismet mengatakan, sejak proses klarifikasi, terdakwa sudah mangkir. Sudah sembilan kali terdakwa dipanggil hingga menjelang sidang. “Saat akan dijemput paksa, terdakwa menghilang,” kata Ismet.
Terdakwa terakhir terlihat saat rekapitulasi suara di Bappeda Sleman. ‘’Lalu setelah ada laporan PPP ke Bawaslu, yang bersangkutan menghilang,” kata Ismet.
Pihaknya belum bisa melakukan penahanan terhadap terdakwa. Sebab, hingga saat ini keberadaan terdakwa belum diketahui. “Di-tracking dari ponselnya tidak bisa. Kemungkinan ganti nomor,” ungkap Ismet.
JPU meyakini terdakwa merupakan pelaku yang membuat bergesernya suara dari beberapa partai ke Partai Nasdem. Keyakinannya itu lantaran terdakwa bertugas di bagian data.
“Yang bisa mengubah data hanya Anita. Sedangkan Anita tidak bisa dimintai keterangan. Jadi kami berkeyakinan terdakwa memang melakukan pidana pemilu,” ungkap Ismet.
Ismet belum bisa memastikan apakah ada aktor intelektual di balik tindakan Anita. Pihaknya hanya fokus menindak unsur pidana pemilu.
“Untuk motif seperti apa, kami belum tahu. Karena yang melakukan Anita sendiri,” katanya.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU, terdakwa dikenai Pasal 551 UU 7/2017 tentang Pemilu. Yaitu anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda palng banyak Rp 24 juta.
Sidang pidana pemilu dijadwalkan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah sidang pertama, pada hari kedua dijadwalkan mendengar keterangan saksi.
“Ada sekitar enam hingga tujuh saksi. Kami juga menghadirkan saksi ahli,” kata Ismet. (har/iwa/zl)