ADA banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan. Salah satunya adalah pendidikan. Muhamad Pasha Pratama berharap diterima di sekolah impiannya. Tapi, dia harapannya tak terwujud. Dia tetap semangat tetap sekolah demi membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga.
GUNAWAN, Gunungkidul
Pasha lulus jenjang sekolah dasar pada tahun ajaran ini. Tapi, dia tidak berhasil belajar di sekolah impian.
Tinggal di Padukuhan Bulu RT 05/14 Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, dia sangat ingin bersekolah di SMPN 2 Karangmojo. Niatnya pupus. Dia gagal lolos seleksi. Sebabnya adalah aturan zonasi.
Saat tahu dinyatakan gagal masuk di sekolah SMP Negeri 2 Karangmojo, Pasha tetap semangat. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan tak terbendung.
Jalan hidup berliku dilalui Pasha sejak kecil. Ketika itu, ibunya meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Ibunya mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan pulang usai membelikan sate kesukaan Pasha di Jalan Jogja-Wonosari.
Sedangkan ayahnya, Sugeng, mengalami gangguan jiwa ringan. Sang ayah mampu bekerja. Tetapi, kesulitan ketika diajak berkomunikasi.
Pasha yang piatu, melanjutkan hidup bersama kakek dan nenek. Dia tidak terbentur sistem zonasi.
Nilai ujian Pasha berjumlah 15. Nilai yang lumayan bagus dibanding dengan teman-teman sekolahnya. Bahkan, ada siswa yang nilainya lebih rendah dan diterima di sekolah itu.
Saat ditemui Radar Jogja Kamis (12/7), Pasha tampak keluar dari balik pintu rumah sederhana. Dia ditemani kakeknya, Ngadiran, dan neneknya, Rebi. Persis di samping tempat tinggalnya itu terdapat kandang sapi.
”Saya inginnya sekolah di SMP 2 Karangmojo. Tapi, tidak bisa,” ucapnya lirih.
Tak diterima di sekolah negeri, masih ada peluang masuk sekolah swasta. Pasha tak menjawab.
Sang kakek yang bersuara. Menurutnya, hingga sekarang cucuknya belum mendaftar ke sekolah swasta. Pertimbangannya jarak. Sekolah wsasta terdekat berjarak sekitar lima kilometer. Selain itu, mereka tidak punya kendaraan untuk sarana transportasi seandainya diterima di sekolah itu.
”Kalau diterima di sekolah negeri, saya bisa nebeng teman. Teman saya banyak yang diterima di SMPN 2 Karangmojo,” kata Pasha pelan. Matanya terlihat berkaca-kaca.
Rebi mengaku mengasuh Pasha sejak sang cucu duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Semua keperluan sekolah dicukupi kakek dan para kerabat. Para tetangga juga sering memberi uang jajan.
”Dimintai tolong tetangga, lalu diberi upah. Upah tersebut ditabung untuk membeli sepatu, tas, dan buku,” kata Rebi.
Ngadiran dan Rebi bekerja sebagai petani. Mereka menyatakan penghasilannya minim. Penghasilan mereka tak cukup untuk membiayai pendidikan Pasha.
Musim kemarau saat ini juga berdampak terhadap hasil pertaniannya. ”Mencari air untuk mengaliri lahan tidak mudah,” ucapnya.
Terpisah, Kepala SMP 2 Karangmojo Tumijo ketika dikonfirmasi menyampaikan, dalam kasus ini Pasha tidak sendiri. Nilai terendah siswa yang diterima tidak terpantau. Sebab, pendaftaran peserta didik baru (PPDB) menggunakan sistem zonasi. Hal utama yang dipertimbangkan pertama kali adalah jarak dari rumah siswa ke sekolah.
”Kami hanya menerima hasil dari PPDB lalu kami cap dan tanda tangani,” ucapnya.
Di bagian lain, Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul Kisworo mengaku sedih dengan kejadian yang menimpa Pasha. Menurutnya, PPDB pada tahun ajaran ini mengutamakan tiga kriteria.
Pertama adalah memprioritaskan jarak rumah siswa dengan sekolah. Kedua yakni umur siswa. Ketiga, waktu pendaftaran.
Kisworo mengaku sudah memonitor kasus Pasha. Dalam kejadian ini, umur Pasha diketahui lebih tua dibandingkan pendaftar lain.
”Berdasarkan surat edaran dari Kemendikbud nilai memang diabaikan. Pihak Disdikpora hanya menaati surat edaran dari Kemendikbud,” katanya. (gun/amd/zl)