SEMINGGU kemarin, bangsa ini gaduh akan hingar bingar sengketa hasil pilpres 2019. Setelah melalui perdebatan yang panjang di meja sidang, MK memutuskan pasangan Jokowi-Ma’ruf menjadi pemenang dalam pilpres 2019. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dinilai sebagai upaya demokratisasi politik nasional.
Pasca putusan MK adalah momentum tepat untuk merajut rekonsiliasi politik dan kultural. Selama tahun politik dimulai dari masa kampanye, debat capres-cawapres, pemilu serentak, penghitungan suarasampai putusan MK, bangsa ini hanyut dalam arus deras konfrontasi politik partisan. Akibatnya, konflik horizontal terjadi dimana-mana baik di dunia nyata ataupun maya.
Persaudaraan kebangsaan yang sudah lama kusut harus diurai kembali dengan mewujudkan rekonsiliasi nasional. Keretakan-keretakan sosial akibat sengketa politik praktis harus kita benahi bersama dengan cara meneguhkan kembali komitmen kebangsaan. Spirit gotong royong yang sudah memudar harus kembali kita semai.
Hakekat Rekonsiliasi
Pasca pengumuman putusan MK, Jokowi sebagai presiden terpilih mengajak publik untuk kembali bersatu. Ajakan tersebut adalah sinyalemen perdamaian akan segara terwujud. Rekonsiliasi menjadi syarat mutlak bagi persatuan bangsa. Tidak perlu ada lagi polarisasi politik, semuanya harus kembali kepada fitrah kebangsaan.
Dalam kerangka rekonsiliasi, semua aktivitas politik harus kembali kepada etika politik Pancasila. Akhlak demokrasi harus mewujud secara nyata agar iktikad baik rekonsiliasi dapat terealisasikan dan terjaga dengan baik.Rekonsiliasi nasional berorientasi meredam bara api konfrontasi di kalangan akar rumput. Miall, et. al. (2000), menyatakan bahwa rekonsiliasi merupakan proses jangka panjang untuk meredam kebencian, mengatasi permusuhan, dan rasa saling tidak percaya diantara dua kelompok yang berkonflik.
Secara prinsip, rekonsiliasi berupaya membangun sinergisitas semua pihak yang terlibat aktif dalam demokrasi. Sinergi tidak akan terbangun tanpa ada kepercayaan sebagai basis dari rekonsiliasi. Menurut Fukuyama (2006) bahwa trustmenentukan kemampuan suatu bangsa untuk membangun masyarakat dan institusi-insitusi di dalamnya guna mencapai kemajuan.
Kepercayaan menjadi modal utama dalam setiap individu masyarakat. Ketika trust kembali terinternalisasi pada setiap pihak-pihak yang bersengketa dalam pilpres 2019, maka sikap kejujuran, persaudaraan, kerja sama dan keadilan akan tumbuh kembali. Dari kepercayaan ini, rekonsiliasi politik akan terbangun.
Kami perlu mengakui selama tahun politikstigmasisasi yang berlebihan telah menjejakan luka mendalam pada kedua kubu. Misalnya, Jokowi selalu ditunding sebagai anak keluarga komunis dan anti-Islam. Pendukung paslon satu dicap sebagai cebong. Sebaliknya, Prabowo beserta pendukunya selalu difitnah sebagai bagian dari kelompok Islam radikal, anti-NKRI dan Pancasila, golongan kampret.
Stigma-stigma sarkatisdi atas berhasil melukai moralitas publik. Luka-luka mendalam bisa diobati melalui sikap lapang dada dan toleransisebagai komitmen rekonsiliasi. Oleh karenanya, iktikad rekonsiliasi harus berdasarkan ketulusan tanpa rasa pamrih.
Rekonsiliasi bukan sekedar transaksi atau jual beli jabatan pemerintahan. Menurut Adit Prayitno (Jawa Pos, 23/06) rekonsiliasi yang haqiqi adalah rekonsiliasi tanpa pamrih, yang tidak didasarkan pada iming-iming jatah kekuasaan. Konstruksi rekonsiliasi yang pamrih rentan hancur dan justru akan menyulut benturan kepentingan yang baru.
Secara substantif, rekonsiliasi dibangun atas dasar asosiasi politik dan gotong royong. Dalam asosiasi politik, kedua kubu membangun hubungan berdasarkan kesamaanvisi yaitu membangun keadilan, sebab secara garis besar, visi kedua kubu tidak memiliki perbedaan yang signifikan.Asosiasi politik di sini mencakup wilayah kelompok dalam dan kelompok luar. Asosiasi politik akan membangun sinergitas koaliasi dalam menyongsong republik ini ke arah persatuan
Kedua, gotong royong. Dalam hal ini Bung Karno menegaskan bahwa gotong royong melebihi etos kekeluargaan. Orientasi gotong royong untuk menghadirkan rasa ”kepemilikan bersama” atas negeri ini. Semua elemen masyarakat dari atas sampai akar rumput memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk memikul beban pembangunan nasional. Etos ini akan membangun hubungan simbiosis mutualisme politik serta mengikis dendam politik yang masih mengedap dalam hati pendukung dari kedua kubu.
Keteladanan Politik
Jokowi maupun Prabowo dinilai oleh publik sebagai negarawan yang berkontribusi besar dalam membangun negeri ini. Keduanya merupakan sahabat sekaligus rival dalam kontestasi politik. Keakraban ini mengindikasikan bahwa para elit dari kedua kubu mampu berdamai secara tulus.
Rekonsiliasi harus dimulai dari kalangan elit sebagai bentuk keteladanan politik kepada publik. Terwujudnya rekonsiliasi di kalangan elit akan membentuk kondusivitas di kalangan akar rumput. Ajakan Jokowi untuk bersatu menunjukkan tidak ada lagi polarisasi politik. Tidak ada lagi 01 dan 02. Pasca sidang sengketa MK semuanya harus melebur menjadi bangsa yang satu, utuh dan berdaulat
Sengketa hasil pilpres sudah selesai. Sudah saatnya kita kembali memfokuskan diri pada agenda pembangunan nasional dan pemerataan kesejahteraan.Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, bangsa ini perlu menggalang perdamaian dan persatuan. Tanpa rekonsiliasi secara nasional, Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang maju, beradab, dan bermartabat. (ila)
*Penulis merupakan Ketua Studi dan Pengembangan Bahasa Asing UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta Tahun 2018