Krebet jadi destinasi wisata baru unggulan Kabupaten Bantul. Alam pedesaan dan kerajinan batik kayu menjadi daya tariknya. Namun, semua itu belumlah cukup untuk mendapat label desa wisata.
MEITIKA CANDRA LANTIVA, Bantul
SIANG itu suasana hangat menyelimuti gubuk wisata Padukuhan Mangir, Sendangsari, Pajangan, Bantul.
Di situ ada Kepala Dinas Pariwisata Bantul Kwintarto Heru Prabowo. Dia mendampingi delegasi dari Kementerian Pariwisata yang dipimpin Titien M. Soekarya. Kehadiran Titien dan rombongannya di Bantul Rabu (10/7) lalu sebagai juri lomba kelompok sadar wisata (pokdarwis).
Mereka duduk bersama. Sembari menikmati sajian ndeso berupa wedang rempah, ubi dan kacang rebus, serta gudeg manggar lengkap dengan ingkungnya.
Obrolan mereka fokus pada Desa Wisata Krebet. Ya, Krebet dikenal sebagai destinasi wisata yang lekat dengan kerajinan unggulan batik kayu. Lokasinya tak jauh dari Mangir. Masih satu desa. Krebet juga memiliki kekuatan wisata alam. Namanya Jurug Pulosari. Itulah mengapa Krebet selalu jadi jujukan alternatif wisatawan yang ingin menikmati liburan di lokasi bernuansa alam pedesaan. “Tapi, Desa Wisata Krebet masih perlu pembenahan,” kritik Titien yang membuat suasana diskusi kian gayeng.
Titien menilai Krebet masih kurang “hidup”. Suasananya belum mencerminkan desa wisata.
Sebagai ahli seluk beluk desa wisat, Titien sangat jeli dan detail. Banyaknya pepohonan yang tak dimanfaatkan secara maksimal menjadi sasaran kritiknya. Ditambah banyaknya daun pohon jati yang berguguran dan berserakan. Kondisi itu makin memperkeruh pemandangan. Pepohonan di Krebet seharusnya bisa dikelola lebih baik. Sehingga bisa menjadi kekuatan tersendiri sebagai penunjang wisata. “Sepanjang perjalanan di Krebet kurang asri,” tuturnya.
Titien terus saja melancarkan penilainnya berdasarkan yang dia lihat. Tak satu pun peserta diskusi menyelanya.
Kesadaran masyarakat terhadap desa wisata pun dinilainya belum sepenuhnya. Sehingga nilai-nilai sapta pesona belum terwujud. Antarpelaku wisata juga kurang interaktif. Tidak kompak. Muncul kesan para pelaku usaha lebih mementingkan bagaimana produk bisa terjual banyak. Bukan bagaimana saling mengisi dan memperkuat pariwisata di wilayah itu.
”Tentu itu menjadi ‘PR’ Bantul. Agar sapta pesona itu tumbuh dan melekat di masyarakat. Ini menjadi tanggung jawab bersama,” pesannya.
Saat mendapat kesempatan bicara, Kwintarto pun segera menanggapi setiap kritik Titien. “Menciptakan destinasi wisata ideal tidaklah mudah. Apalagi perihal kesadaran,” dalihnya.
Kwintarto menerima semua kritik Titien. Dia berjanji akan terus menggencarkan sosialisasi pentingnya gerakan sadar wisata. Baik melalui perangkat desa maupun langsung ke pokdarwis. Dia juga akan menggerakkan anak-anak muda. Untuk melancarkan promosi dengan teknologi informasi. Untuk menciptakan konsep apik dengan ikon unik. Supaya bisa jadi objek alternatif untuk swafoto. ”Pohon jati itu juga bisa dieksplorasi,” ujarnya.
Dengan sedikit sentuhan kreativitas, lanjut Kwintarto, pohon jati yang meranggas saat kemarau akan dimanfaatkan sebagai salah satu objek swafoto. Misalnya dibuat rumah pohon. Atau taman. Tapi bukan berarti masalah selesai. Sebab, lahan kebun jati bukan milik pemerintah. Pun bukan milik warga setempat. Tapi milik seorang pengembang dari luar Bantul. Ini menjadi alasan Pemkab Bantul tak berwenang mengelolanya. ”Nah, ini menjadi sulit. Ada kemampuan, tapi tak memiliki kewenangan. Ya tidak bisa berbuat banyak,” ucapnya.
Lepas dari persoalan itu Kwintarto sepakat dengan kritik tim juri. Setidaknya, kritik itu bisa menjadi acuan bagi dinas dlam pengembangan sektor pariwisata. Dengan tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat.(yog/by)