Setelah berhasil mengendalikan situasi, Susuhunan Amangkurat II mulai menyeriusi membangun ibu kota baru. Selama tiga tahun sejak penobatannya pada 1677, Amangkurat II belum memiliki istana. Dia raja Mataram pertama yang bertakhta tanpa istana.

Amangkurat II juga dikenal dengan sebutan Sunan Amral. Gelar itu berasal dari kata admiral atau laksamana. Orang Jawa lebih muda menyebut amral dibandingkan admiral. Penobatannya sebagai raja keenam Mataram diumumkan di atas kapal VOC. Saat itu Amangkurat II dalam perjalanan dari Tegal menuju Jepara. Dia mengenakan pakaian militer laksamana.

Usai penobatan itu, Sunan Amral disibukan menyelesaikan persoalan politik dengan Trunajaya. Usai penobatan, raja yang lahir dengan nama Raden Mas (RM) Rahmat itu tidak langsung kembali ke ibu kota Mataram di Plered.

Bersama pasukan VOC berkonsentrasi memburu Trunajaya ke Kediri. Amangkurat II memimpin operasi militer besar-besaran. Butuh waktu tiga tahun. Memasuki pertengahan 1680, kelompok Trunajaya benar-benar telah berhasil dilumpuhkan. Situasi berangsur-angsur kondusif.

Tiba saatnya raja menentukan kabinetnya. Para bupati yang berjasa membantu menumpas Trunajaya dikukuhkan kembali. Sunan menyatakan para bupati itu tetap pada kedudukannya. Bupati-bupati di pesisir dan pedalaman mengeluarkan maklumat. Ikrar setia mendukung Negara Kesatuan Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Susuhunan Amangkurat II.

Raja juga mengangkat sejumlah orang penting untuk membantu di kabinet. Mereka meliputi pepatih dalem (perdana menteri), panglima angkatan bersenjata, menteri keuangan serta menteri pangan. Di antara beberapa pos penting, ada dua posisi sentral. Menteri pekerjaan umum dan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Mataram. Kepada dua pembantunya itu, Amangkurat II memerintahkan mencari calon ibu kota baru.

Istana Plered dianggap sudah tidak layak menjadi ibu kota. Pertimbangannya karena pernah diduduki musuh. Plered dianggap telah tercemar. Sunan memutuskan membangun istana baru. Ibu kota Mataram harus dipindahkan dari Plered.

Kemudian dibentuklah tim. Tugasnya, nitik (observasi) dan nitis atau survei. Anggota tim terdiri berbagai ahli dan tokoh andalan Mataram. Hasilnya, ada tiga lokasi yang direkomendasikan menjadi calon ibu kota.  Terdiri atas Hutan Wanakerta, Logender dan Tingkir.

Logender daerahnya terbuka dan cukup air. Sedangkan Tingkir, Salatiga cukup air. Daerahnya juga bagus dan sejuk. Adapun Hutan Wanakerta daerahnya datar dan air cukup mudah tersedia dari Umbul Pengging, Boyolali. Lokasinya juga mudah dijangkau dari Pajang dan Mataram. Tak jauh dari Hutan Wanakerta ada daerah Delanggu. Dikenal tanahnya subur. Sampai sekarang dikenal sebagai penghasil  beras.

Plus minus tiga lokasi itu dibahas secara maraton. Adipati Hurawan yang menjabat kepala Badan Perencanaan Pembangunan Mataram mengusulkan Wanakerta. Dia menyampaikan presentasi panjang lebar dipilihnya Wanakerta. Amangkurat II menyetujui. Sunan berpesan agar pola ibu kota dan istana baru mengikuti Keraton Plered.

Pembangunan ibu kota baru memerlukan waktu tujuh bulan. Sedikit berbeda dengan Plered, di ibu kota baru ada dua alun-alun. Yakni alun-alun utara dan selatan. Sedangkan di Plered baru punya satu alun-alun utara. Amangkurat II memasuki istana baru pada 11 September 1680. Dia memutuskan mengganti nama Wanakerta menjadi Kartasura Hadiningrat.

Meski sudah menetapkan ibu kota baru, Amangkurat II masih punya ganjalan. Adiknya Pangeran Poeger belum bersedia mengakui kekuasaannya. Bahkan Poeger masih ngotot bertakhta sebagai raja bergelar Susuhunan Ing Ngalaga. Dia menempati istana Plered. Ada dua raja kembar di Mataram. (zam/rg)