SUSUHUNAN Paku Buwono (PB) I bertakhta hampir 15 tahun. Raja ketiga Mataram semasa beribu kota di Kartasura wafat pada 1719. Selama memimpin, PB I didampingi sosok permaisuri yang hebat. Namanya Ratu Balitar. Kelak gelarnya lebih populer dengan sebutan Ratu Paku Buwono.
Dari perkawinan ini lahir tiga orang anak laki-laki. Raden Mas (RM) Suryoputro, Pangeran Purboyo, dan Pangeran Balitar. Kelak Suryoputro diangkat menjadi putra mahkota. Gelarnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara.
Dia menjadi pewaris takhta Mataram. Pewarisan takhta itu menguatkan terjadinya pergeseran trah Amangkurat II kepada Paku Buwono I. Sekaligus memperteguh keberlanjutan trah Ki Ageng Giring. Penguasa Mataram tak lagi utuh dari keturunan Ki Ageng Pemanahan.
Pasca dibuangnya Amangkurat III ke Sri Lanka, situasi politik Kartasura relatif stabil. Sukses Paku Buwono I itu tak terlepas dari peran istrinya. Ratu Paku Buwono cukup menghiasi ketatanegaraan Mataram. Mulai penataan kelembagaan, penempatan pejabat, hingga persiapan suksesi. Semua berjalan mulus. Siasat politiknya diakui kawan maupun lawan.
Ibu Suri ini juga menciptakan sejumlah buku penting. Semua berakar pada tradisi suci Islam. Dia disebut ingkang ayasa atau yang menciptakan naskah Serat Menak. Ditulis pada 1715. Kini serat itu masih tersimpan di Perpustakaan Nasional RI.
Serat Menak sebagian dari tradisi suci mengenai para nabi Islam. Sekitar 1720-an, Ratu Paku Buwono juga menciptakan Babad Tanah Djawi. Bercerita sejarah Jawa. Dari Nabi Adam hingga era Kartasura. Menjelang akhir pemerintahan suaminya, Ratu Paku Buwono masih punya pengaruh yang sangat kuat.
Ratu Paku Buwono menulis buku dalam Carita Sultan Iskandar pada 1729. Dia juga menulis Cerita Nabi Yusuf. Dari sekian karyanya yang luar biasa berjudul Kitab Usulbiyah.
Mulai ditulis pada Desember 1729. Buku ini bercerita tentang sejarah para nabi versi Jawa. Ratu Paku Buwono juga membuat karya Suluk Garwa Kencana. Isinya mengenai pengaruh Islam dalam kehidupan dan kebudayaan kerajaan Jawa.
Pengaruh politik Ratu Paku Buwono terjadi bukan pada masa anaknya, Amangkurat IV, berkuasa. Namun di era cucunya, Paku Buwono II. Raja ini berkuasa di bawah pengaruh sang nenek. Terutama dalam membentuk karakter raja yang saleh sesuai ajaran-ajaran Islam.
Ratu Paku Buwono wafat pada 1732. Perempuan berpengaruh, permaisuri Paku Buwono I, ibunda Amangkurat IV, dan nenek dari Paku Buwono II itu tidak dimakamkan di kompleks Imogiri. Makamnya ada di Kampung Nitikan, Jogja. Padahal di Imogiri ada kompleks bernama Pakubuwanan. Di sini bersemayam jasad Paku Buwono I beserta putra Amangkurat IV dan cucunya, Paku Buwono II. Mereka adalah raja Mataram Kartasura ketiga, keempat, dan kelima.
Makam Nitikan letaknya tak jauh dari Masjid Panitikan. Sekarang bernama Masjid Sultonain. Masjid Panitikan menjadi tetenger pecahnya Mataram menjadi dua. Di masjid itu ada ciri warna Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Itu ditunjukkan dengan warna lantainya. Di sisi utara berwarna abu-abu dengan tembok berwarna biru muda (Kasunanan). Sedangkan di lantai selatan berwarna merah dengan tembok putih (Kasultanan). Makam di dekat masjid juga dibagi dua. Sebelah barat milik Kasunanan dan timur milik Kasultanan. Kompleks makam dirawat abdi dalem kedua kerajaan keturunan Ratu Paku Buwono tersebut.(yog/bersambung)