JOGJA – Asosiasi Ilmu Al Quran dan Tafsir se-Indonesia (AIAT) menggelar Annual Meeting dan Seminar Nasional (semnas) IV. Berlangsung selama tiga hari di Hotel Grand Palace (19/8).

Dihadiri 43 Program Studi (Prodi) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). Diikuti 68 orang terdiri dari Kepala Program Studi (Kaprodi) dan Sekretaris Program Studi (Sekprodi).

Acara tersebut membicarakan pengembangan prodi kurikulum yang relevan untuk masa sekarang. “Jadi masing-masing kaprodi dan sekprodi membawa kurikulum ilmu Al Quran dan tafsir yang nantinya dibahas sampelnya,” kata Ketua AIAT Sahiron Syamsuddin.

Dikatakan, masing-masing peserta akan mempunyai pandangan mengembangkan kurikulum agar relevan dengan konteks kekinian. Sehingga tidak out of date. Kurikulum yang up to date terkait perkembangan IT, sains, atau temuan-temuan scientific dan perkembangan sosial.

“Supaya kajian Al Quran dan tafsir tidak itu-itu saja yang dibahas. Tapi bagaimana kemudian bisa dikembangkan,” ujar Sahiron yang juga Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga Jogja.

Misalnya, terkait bagaimana pengembangan Al Quran dan Tafsir yang sesuai dengan perkembangan zaman, baik IT maupun sosial. Juga perkembangan yang ditekankan pada spesifikasi prodi ilmu Quran dan Tafsir.

Seperti contohnya spesifikasi UIN Sunan Kalijaga Jogja yang lebih dikonsentrasikan pada penafsiran kontemporer atau living Quran yang hidup di masyarakat.

Atau prodi tertentu yang konsentrasi pada penafsiran kepada kyai pesantren terhadap Al Quran, penafsiran klasik dan sebagainya. Dalam hal kurikulum pihaknya memerhatikan pengembangan dan spesfiikasinya.

“Sehingga kalau umpamanya mencari peneliti Quran dalam bidang tafsir klasik sudah ada yang ahli dalam bidang itu. Atau bidang Quran dan IT,” tambahnya.

Maka keahlian masing-masing bidang akan menyebar. Bukan hanya di Jogja atau Jakarta saja. Mjuga seluruh prodi IAT yang memiliki kekhasannya sendiri. Sehingga posisinya semakin kuat di bidangnya masing-masing.

Selain pengembangan prodi dari sisi kurikulum, yang kedua adalah dari segi Sumber Daya Manusia (SDM). Dimana kedepan bisa mendirikan lembaga akreditasi yang mandiri agar bisa menciptakan alumni yang qualified atau yang berkualifikasi sesuai bidangnya.

Yang tidak kalah penting adalah bagaimana prodi ilmu Al Quran dan tafsir, dalam hal ini para dosen, peneliti dan mahasiswanya bisa memiliki peran di masyarakat menghadapi isu-isu masa kini. Seperti radikalisme, dimana orang meninggalkan nasionalisme.

Sehingga dengan semnas ini bisa menyatukan antara bangsa dan umat muslim. “Sekarang ada gejala kelompok tertentu memisahkan antara Islam dengan Pancasila. Padahal itu tidak bertentangan tapi saling memperkuat,” tambahnya.

Fundanmentalisme dan radikalisme bisa dijawab oleh prodi ilmu Al Quran dan tafsir dari para dosennya maupun mahasiswa itu sendiri. “Jangan diam saja. Harus ngomong sesuatu untuk menjaga masyarakat tetap dalam keadaan yang normal. Tidak radikal pemahamannya,” pesannya.

Ketua Prodi Ilmu Al Quran dan Tafsir FUPI UIN Sunan Kalijaga Jogja Abdul Mustaqim menuturkan studi Al Quran selalu mengalami dinamika seiring perkembangan zaman. “Dulu pada era 1970-1980 ketika anak-anak ingin belajar membaca Al-Quran, mereka harus datang ke rumah kiai/nyai atau ustadz/dzah. Namun, sekarang mereka tidak lagi harus datang ke rumah kiai, melainkan cukup ke TPA,” tuturnya. (*/cr15/iwa/fj)