Bagi Retno Isnurwindryaswari, arkeologi tidak hanya berbicara cagar budaya. Disiplin ilmu ini juga berbicara tentang seni, budaya hingga arsitektur. Faktor-faktor inilah yang menjadi penyemangat dalam menekuni profesinya hingga saat ini.
DWI AGUS, Jogja
Lubang berbentuk kotak menganga di sisi timur Pojok Beteng Kulon Keraton Jogjajarta. Di sisi dalam terlihat orang-orang memainkan kuas dan blower angin. Tujuannya untuk mengetahui konstruksi bangunan cagar budaya tersebut.
Dalam rombongan ini ada Retno Isnurwindryaswari. Perempuan ini merupakan arkeolog dari Balai Purbakala dan Cagar Budaya (BPCB) DIJ. Sesekali dia memandu para arkelog muda. Lain waktu dia juga terlihat serius dengan kontur susunan batu bata kuno pondasi beteng.
“Untuk ekskavasi arkelogi memang harus pelan-pelan, tidak bisa pakai mesin. Memang melelahkan, karena pondasinya keras. Tapi harus begitu agar struktur aslinya tidak rusak,” katanya saat ditemui di sela-sela ekskavasi arkelogi, beberapa waktu lalu.
Menunggu waktu istirahat, dia pun bersedia berbagi cerita dengan Radar Jogja. Mengawali kisah, dia menceritakan awal mula menjadi arkeolog. Jurusan Arkeologi UGM menjadi tonggak awal menyelami disiplin ilmu ini.
Arkeologi, awalnya, bukan landasan utama. Faktor utama justru seni dan budaya yang diwariskan kedua orangtuanya. Terutama dari sang ayah yang memiliki ketertarikan bangunan cagar budaya. Tidak hanya arsitektur, namun juga menimpan nilai sejarah, seni, dan budaya.
“Kuliah di arkeolgi hingga akhirnya bekerja juga di Arkeologi BPCB DIJ. Kalau diperhatikan, bangunan kuno justru lebih indah dari bangunan zaman sekarang. Bukti bahwa orang dulu benar-benar memperhitungkan aspek dalam dan luar,” ujarnya.
Pengalaman pertama melakukan ekskavasi arkeologi pada 1993. Kala itu dia diterjunkan untuk membantu eskavasi Candi Kedulan di Kalasan, Sleman. Walau masih berstatus mahasiswa, Retno muda sangat antusias. Terlebih tahun itu merupakan kali pertama Candi Kedulan ditemukan.
Seiring waktu berjalan, ekskavasi demi ekskavasi dia lakoni. Mulai dari Candi Ijo, kawasan Pleret hingga ekskavasi arkeologi kantor Kepatihan. Bahkan bulan depan, dia dan timnya akan melakukan ekskavasi Candi Miri di wilayah perbukitan Prambanan, Sleman.
“Ekskavasi itu berupa kajian sebelum memasuki rekonstruksi. Seperti bermain puzzle untuk menemukan tonggak awalnya,” bebernya.
Jogjakarta baginya memiliki keistimewaan tersendiri. Terbukti dari terkonsepnya tata ruang semenjak era Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sisi dalam beteng menjadi pusat pemerintahan kala itu. Selain strategis, dari segi arsitektur juga sangat kaya.
Bentuk-bentuk bangunan bukan sekadar tempat berteduh dan mengistirahatkan badan. Susunan bangunan tata ruang, khususnya sisi dalam beteng, memiliki filosofi kuat. Bahkan tata ruang ini selaras dengan adanya sumbu filosofis hingga Gunung Merapi.
“Ini yang harus diuri-uri makna dan filosofinya. Bagi arkeolog, Jogjakarta dan sisi kunonya sangat menyenangkan. Banyak cerita sejarah yang bisa digali. Tidak hanya keraton, tapi juga peninggalan yang lebih kuno seperti candi-candinya,” katanya.
Dari segi arsitektur dia mencontohkan kesederhanaan pojok beteng. Pondasi dibangun hanya dengan kombinasi bata merah dan tanah liat. Namun struktur ini bisa bertahan hingga ratusan tahun. Kerusakan berat cenderung diakibatkan gempuran perang.
“Istilahnya kosot, hanya bata merah diberi tanah lempung sebagai perekat. Keraton di Imogiri itu lebih tua lagi, karena dibangun era 1600-an. Sampai saat ini masih kuat dan berdiri tegak,” ujarnya.
Perempuan kelahiran 16 Agustus 1972 ini menuturkan, ekskavasi memiliki tantangan tersendiri. Tak hanya sekadar mengembalikan bentuk bangunan, situs atau kawasan sesuai bentuk aslinya. Namun harus melihat dan mempelajari sejarahnya dahulu.
Data demi data harus dia gali untuk menemukan formasi yang tepat. Tak hanya mengandalkan dokumentasi literasi, tapi juga cerita sesepuh setempat. Tujuannya menyempurnakan perpaduan literasi dan saksi sejarah.
“Mempelajari sejarah bukan berarti mundur ke belakang, tapi belajar untuk melangkah ke depan. Seperti konstruksi beteng ini, kok bisa orang zaman dulu menyusun dan sekarang kok tidak bisa. Harusnya lebih maju lagi dengan menghargai ide-ide pendahulu kita,” kesannya.
Di sisi lain seorang arkeolog harus bisa memanajemen waktu. Dia tidak menampik saat bertugas lapangan kerap terbawa arus menyenangkan. Meneliti bagian per bagian untuk menjadi bahan kajian. Namun dia sadar bahwa penelitian tetap butuh pemikiran yang sehat dan segar.
“Kalau lupa waktu tidak, karena ekskavasi arkeologi itu tetap butuh tenaga. Tidak hanya fisik, tapi juga pikiran. Kalau sudah waktunya istirahat, ya tidak bisa dipaksakan karena kaitannya dengan konsentrasi,” katanya. (laz/fj)