TOKOH nasional yang juga Wakil Presiden pertama Republik Indonesia pernah berujar. Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas. (Mohammad Hatta).
Book are the carriers of civilation. Without books, history is silent, literature dumb, scince crippled, thought and speculation at a standstill. They are engines of change, windows on the world, lightouses erected in the sea of time. (Barbara W. Tuchman).
Begitulah sepenggal kalimat simple but deep mengenai buku. Buku adalah pembawa peradaban. Tanpa buku, sejarah itu sunyi, sastra itu bodoh, sains itu lumpuh, pemikiran dan spekulasi terhenti. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, dan mercusuar yang didirikan di lautan waktu.
Membaca kutipan di atas ingatanku terbawa ke masa di bangku Sekolah Dasar dulu, guruku selalu bilang kalau buku itu jendelanya dunia. Bayangkan saja dunia seluas langit dan bumi ini memiliki jendela yang disebut buku. Hebat betul si buku, gumamku. Kata guruku lagi, lewat buku kita pun bisa mengenal dunia seisinya. Tak hanya itu mereka selalu ‘memaksa’ ku untuk gemar membaca buku.
Sedikit renungan mengenai pepeling guruku dulu. Ungkapan buku itu jendela dunia mungkin masih relevan waktu itu karena informasi masih sulit sekali didapat. Lewat bukulah segala informasi bisa digali sepuas-puasnya. Namun di era Revolusi Industri 4.0 ini sekali jari mengetikkan di kolom mesin pencari maka jutaan informasi tersaji hanya dalam waktu sepersekian sekon saja. Begitu praktisnya.
Pertanyaan yang muncul, di masa sekarang yang serba digital smart automation, arus informasi di internet yang begitu deras tak terbendung masihkan buku dibutuhkan?
Pada era Revolusi Industri 4.0 ini kita tidak bisa lepas dari kebutuhan informasi yang cepat-akurat, tak lain itu bisa diperoleh lewat intenet. Tanpa perlu berlebihan mengunggulkan internet dan menenggelamkan eksistensi buku maka sebuah pemikiran bijak tentang keduanya harus segera terwujud.
Pemanfaatan internet yang arif dan bijak mutlak diperlukan agar terjadi pemrosesan dan penyerapan informasi yang baik dan bekualitas. Intenet jauh lebih praktis dan instan ketimbang buku yang harus dibolak-balik dan dibaca secara detail untuk menyerap informasi. Dampak buruknya yaitu pemerolehan informasi secara instan akan melahirkan informasi yang instan pula. Tanpa perlu meninggalkan internet, buku harus menjadi sumber primer informasi. Keduanya harus digunakan secara bijak.
Keluarga sebagai pilar ekosistem sosial terkecil memiliki peran strategis dalam upaya mewujudkan gerakan gemar membaca buku—membumikan Gerakan Anak Cinta Buku (Ganciku). Sudah selayaknya anak dikenalkan dengan sumber ilmu yaitu buku. Bagaimanakah keluarga mampu menjadi tumpuan mengkampanyekan gebrakan ini?
Anak sebagai investasi pertama tentulah orangtua akan mengupayakan segala daya untuk memanen produk terbaiknya. Tradisi baik haruslah ditabur sejak dini. Salah satunya pelibatan anak-anak sejak kecil dalam berbagai aktivitas literasi. Praktik sederhanannya, orang tua bisa membacakan sebuah cerita dari buku sejak bayi dan dilakukan setiap hari, nantinya anak akan candu membaca. Deborah (2006) dalam penelitiannya berjudul “Child and Maternal Contributions to Shared Reading: Effect on Language and Literacy Development” menyebutkan kalau ibu memiliki peran dalam perkembangan literasi anak serta ketertarikan anak membaca buku berhubungan kuat dengan cara ibu membaca buku.
Pembiasaan baik dan pelibatan orang tua di keluarga sedari kecil ini akan terbawa sampai anak beranjak remaja bahkan dewasa. Selain itu kegiatan rumah yang menyenangkan yang diciptakan orangtua kepada anak juga memberikan efek positif dalam mengembangkan kemampuan literasi anak.
Pelibatan orangtua menciptakan habit positif dalam penyediaan fasilitas, keikutsertaan orangtua secara aktif dalam kegiatan membaca. Fasilitas yang lengkap akan merangsang anak untuk beraktivitas dan menanamkan kecintaannya pada buku dan minat membaca.
Tak sedikit tokoh dunia yang menjadi hebat dengan ilmu pengetahuannya karena berawal dari kebiasaan membaca buku di keluarga. Thomas Alva Edison misalnya, ilmuwan yang dikenal sebagai penemu bola lampu ini memiliki pemikiran melampaui teman-temannya. Saat kecil Edison selalu berusaha menemukan jawaban rasa keingintahuannya melalui buku.
Selanjutnya, Stephen Hawking yang memang terlahir bukan dari keluarga berada. Meski demikian kedua orangtuanya sangat mengutamakan pendidikan. Salah satu kebiasaan unik uniknya yaitu makan sambal membaca buku. Hawking dikenal sebagai fisikawan hebat dengan kontribusinya Black Hole Theory.
Ada juga Imam Jalaluddin as Suyuthi, beliau dilahirkan di antara tumpukan buku-buku. Karenanya beliau mendapat julukan “anak buku”. Berkat kesungguhan dan kegigihannya belajar dan membaca sejak kecil serta didikan keluarga yang begitu kuat menuntut ilmu maka beliau menjadi penulis ratusan buku berbagai disiplin ilmu agama.
Melalui Gerakan Anak Cinta Buku (Ganciku) di lingkup keluarga sejak anak kecil maka disadari atau tidak sebetulnya kita telah membantu upaya pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) tidak akan maksimal dan berimbang tanpa diawali di lingkup sosial terkecil yaitu keluarga. Maka lewat Ganciku mari jadikan peringatan Hari Anak Nasional tahun ini sebagai momentum terbaik bagi seluruh anak Indonesia untuk mulai menabur benih cintanya pada buku. Ketika kebiasaan baik di keluarga sudah terbentuk maka harapannya adalah di ekosistem sosial yang lebih luas seperti masyarakat dan sekolah kebiasaan baik ini tetap terjaga. Semoga. (ila)
*Penulis merupakan Guru di MTs Darul Ishlah Sukorejo, Kabupaten Kendal; Mahasiswa S2 Pendidikan IPA Universitas Negeri Semarang; dan Fasilitator Program PINTAR Tanoto Foundation.