KAPTEN Von Hohendorff mememerintahkan semua gerbang istana Kartasura ditutup. Sunan Paku Buwono II bersama seluruh keluarga kerajaan menuju pintu belakang keraton. Beberapa ekor kuda telah disiapkan untuk evakuasi. Namun ada persoalan upaya penyelamatan dilakukan.

Ratu Amangkurat, ibunda Paku Buwono II beberapa kali pingsan saat hendak dinaikkan ke pelana. Rupanya ibu suri ini dilanda kepanikan luar biasa. Situasi betul-betul kacau. Semua berusaha menyelamatkan diri.

Namun pintu belakang ukurannya terlampau sempit. Ratusan prajurit Mataram terluka akibat terkena tombak dan senjata mereka sendiri waktu berhimpitan. Dalam situasi itu, beberapa orang prajurit memanjat tembok agar bisa keluar dari dalam istana Kartasura.

Tidak jauh dari lokasi, pasukan Sunan Kuning telah sampai ke Sitihinggil Keraton Kartasura. Terdengar dentuman meriam dan desing peluru. Laskar Tionghoa terus menembaki orang-orang yang keluar dari dalam keraton. Ratusan orang tewas.

Ini menimbulkan suasana makin mencekam. Menyikapi keadaan itu, Paku Buwono II tidak tinggal diam. Raja yang lahir dengan nama kecil Raden Mas Gusti (RMG) Prabasuyasa itu ingin keluar istana. Sunan ingin memimpin langsung prajurit Mataram. Keinginan Sunan itu dicegah Komandan Pasukan Pengamanan Raja Tumenggung Wirareja.

Dalam pandangan Wirareja situasinya tidak mengizinkan jika Sunan ingin maju ke medan perang. Tindakan itu tidak akan menyelesaikan situasi. Sangat spekulatif. Keselamatan Paku Buwono II justru terancam. Kekuatan lawan tidak sebanding dengan sisa prajurit Mataram yang ada di istana Kartasura.

Sunan mengikuti saran Wirareja. Beberapa prajurit menuntun Paku Buwono II ke sebuah lubang untuk keluar dari keraton. Lubang itu teramat sempit. Tak mungkin dilalui seekor kuda. Akhirnya Sunan harus berjalan merangkak agar bisa melewati lubang tersebut.

Sewaktu keluar dari tembok istana, raja terpisah dengan RMG Suryadi, sang putra mahkota. Bahkan putra mahkota diketahui terserempet peluru di dada kirinya. Raja dan putranya ini akhirnya terpisah.

Saat sudah berada di luar keraton, muncul perbedaan pendapat antara Wirajareja dengan Kapten VOC Hohendorff. Wirareja berpendapat agar raja memutar haluan menuju Semarang. Sebaliknya Hohendorff punya perhitungan lain. Perjalanan ke Semarang risikonya terlampau besar.

Saat itu kekuatan Kompeni di Semarang belum mampu mengirim bantuan ke Kartasura. Hohendorff berpandangan jalur paling aman adalah membawa Sunan ke arah timur Bengawan Sala. Dari perhitungannya, di seberang sungai terpanjang di Jawa itu merupakan lokasi terbaik untuk bertahan. Dia ingin melihat perkembangan hingga kekacauan di Kartasura mereda.

Rencananya, Sunan akan dievakuasi menuju Surabaya. Dari Surabaya dilanjutkan ke Semarang. Dari kesepakatan itu, rombongan akhirnya memacu kuda ke arah timur. Paku Buwono II  meninggalkan istana Kartasura. Dampak Geger Pacinan  menyebabkan seorang raja Mataram telah kehilangan keraton. Orang Jawa menandainya dengan candrasengkala Pandita enem angoyog jagad.

Sebelum sampai tepi Bengawan Sala, Sunan dan rombongan beristirahat di Desa Laweyan. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari Kartasura. Saat beristirahat, Paku Buwono II mencari putra mahkota. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat putra mahkota tiba di lokasi. Suryadi tampak digendong prajurit Mataram. Raja dan putra mahkota yang sempat terpisah akhirnya bertemu kembali. Suasana haru terlihat. Paku Buwono II langsung memeluk putranya.

Masa istirahat di Laweyan tidak berlangsung lama. Perjalanan dilanjutkan menuju Bengawan Sala. Laskar Tionghoa tampak mengejar. Nyaris mendekati. Namun rombongan Sunan berhasil menyelamatkan diri. Dari tepi Bengawan Sala, perjalanan dilanjutkan menuju Magetan melalui Gunung Lawu. Tujuan Sunan menuju Ponorogo. (laz)